BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Teknologi
pendidikan muncul menjadi isu seiring dengan perkembangan kehidupan manusia dan
kebutuhan akan pendidikan dan pembelajaran. Awalnya Teknologi Pendidikan
dianggap sebagai bidang garapan
yang terlibat dalam penyiapan fasilitas belajar (manusia) melalui penelusuran , pengembangan, organisasi, dan pemanfaatan
sistematis seluruh sumber-sumber belajar; dan melalui pengelolaan seluruh
proses ini (AECT 1972). Dan pada akhirnya diartikan sebagai studi dan praktek
etis dalam memfasilitasi proses pembelajaran dan meningkatkan kinerja dengan
mencipatakan, menggunakan, dan mengatur proses teknologi dan sumber daya yang
cocok (AECT, 2004).
Filsafat
dalam pendidikan merupakan teori umum dari pendidikan, landasan dari semua
pemikiran mengenai pendidikan, atau dapat dikatakan sebagai teori yang dipakai
dasar bagaimana ”pendidikan itu dilaksanakan” sehingga mencapai tujuan (Dewey,
1946: 383). Oleh karena itu, sebagai sebuah ilmu teknologi pendidikan juga
memiliki landasan. Salah satunya adalah landasan filosofis yang dapat dikaji
melalui tiga kajian filsafat yaitu ontologi yang mewakili pertanyaan ”apa?”
atau ”mengapa?”, epistimologi yang mewakili ”bagaimana?”, dan aksiologi ”untuk
apa?”.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
Landasan falsafah Teknologi pendidikan?
2. Jelaskan
tentang Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi dalam teknologi pendidikan!
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Landasan
Falsafah Teknologi Pendidikan
Landasan
falsafah penelitian teknologi pendidikan terdiri atas 3 komponen seperti yang diungkapkan
oleh Suriasumantri dalam Miarso. Ada 3 jenis komponen dalam teknologi
pendidikan yaitu ontology (merupakan bidang kajian ilmu itu apa, jika teknologi
pendidikan sebagai ilmu maka bidang kajiannya apa), epistemology (pendekatan
yang digunakan dalam suatu ilmu itu bagaimana), dan aksiology (menelaah tentang
nilai guna baik secara umum maupun secara khusus, baik secara kasat mata atau
secara abstrak).
Kurikulum
teknologi berorientasi ke masa depan yang memandang teknologi sebgai dunia yang
dapat diamati serta diukur secara pasti. Oleh karena itu dalam pendidikan lebih
mengutamakan penampilan perilaku lahirnyaatau eksternal dengan penerapan
praktis hasil penemuan-penemuan ilmiah yang secara karakteristik menuju kea rah
komputerisasi program pengajaran yang ideal sesuai dengan prinsip-prinsip
Gybeructis.
Dalam
proses belajar mengajar, model teknologi pendidikan lebih menitik beratkan
kemampuan siswa secara individual dimana materi pelajaran sesuai ketingkatan
kesiapan sehingga siswa mampu menunjukan perilaku tertentu yang diharapkan.
Manfaat
yang sangat besar dari model kerikulum teknologi ini adalah materi pelajaran
dapat disajikan kepada siswa dalam berbagai bentuk multimedia, para siswa
menerima pelajaran seperti pada model pendidikan klasikal, tetapi para siswa
lebih yakin dalam menangkap pelajarannya karena penyajian pelajaran lebih
hidup, lebih realistis serta lebih impresif.[1]
Landasan
filosofis yang dapat dikaji melalui tiga kajian filsafat yaitu ontologi yang
mewakili pertanyaan ”apa?” atau ”mengapa?”, epistimologi yang mewakili
”bagaimana?”, dan aksiologi ”untuk apa?”.
2.
Ontologi
Ontologi
bertolak atas penyelidikan tentang hakekat ada (existence and being) (Brameld,
1955: 28). Pandangan ontologI ini secara praktis akan menjadi masalah utama di
dalam pendidikan. Sebab, siswa (peserta didik) bergaul dengan dunia lingkungan
dan mempunyai dorongan yang kuat untuk mengerti sesuatu. Oleh karena itu
teknologi pendidikan dalam posisi ini sebagai bagian pengembangan untuk
memudahkan hubungan siswa atau peserta didik dengan dunia lingkungannya.
Peserta didik, baik di masyarakat atau di sekolah selalu menghadapi realita dan
obyek pengalaman.
Secara
tersusun Chaeruman dalam tulisannya[2]
mengutip tulisan Prof. Yusuf Hadi Miarso bahwa ontology teknologi pendidikan
adalah
ü Adanya
sejumlah besar orang belum terpenuhi kesempatan belajarnya, baik yang diperoleh
melalui suatu lembaga khusus, maupun yang dapat diperoleh secara mandiri.
ü Adanya
berbagai sumber baik yang telah tersedia maupun yang dapat direkayasa, tapi belum
dimanfaatkann untuk keperluan belajar.
ü Perlu
adanya suatu proses atau usaha khusus yang terarah dan terencana untuk
menggarap sumber-sumber tersebut agar dapat terpenuhi hasrat belajar setiap
orang dan organisasi.
ü Perlu
adanya keahlian dan pengelolaan atas kegiatan khusus dalam mengembangkan dan
memanfaatkan sumber untuk belajar tersebut secara efektif, efisien, dan
selaras.
Dibawah
ini adalah empat revolusi yang terjadi di dunia pendidikan karena adanya
masalah yang tidak teratasi dengan cara yang ada sebelumnya, tetapi dilain
pihak juga menimbulkan masalah baru. Masalah – masalah itu dibatasi pada
masalah utama, yaitu “belajar”. Menurut Sir Eric Ashby (1972, h. 9-10) tentang
terjadinya empat Revolusi di dunia pendidikan yaitu:[3]
ü Revolusi
pertama terjadi pada saat orang tua atau keluarga menyerahkan sebagian
tanggungjawab dan pendidikannya kepada orang lain yang secara khusus diberi
tanggungjawab untuk itu. Pada revolusi pertama ini masih ada kasus dimana
orangtua atau keluarga masih melakukan sendiri pendidikan anak-anaknya. Dari
beberapa literatur, seperti misalnya Seattler berusaha menelusuri secara
historik perkembangan revolusi ini dengan mengemukakan bahwa kaum Sufi pada
sekitar 500 SM menjadikan dirinya sebagai “penjual ilmu pengetahuan”, yaitu memberikan
pelajaran kepada siapa saja yang bersedia memberinya upah atau imbalan.
Revolusi
pertama ini terjadi karena orangtua/keluarga tidak mampu lagi membelajarkan
anak-anaknya sendiri.
ü Revolusi
kedua terjadi pada saat guru sebagai orang yang dilimpahkan tanggungjawab untuk
mendidik. Pengajaran pada saat itu diberikan secara verbal/lisan dan sementara
itu kegiatan pendidikan dilembagakan dengan berbagai ketentuan yang dibakukan.
Penyebab
terjadinya revolusi kedua ini karena guru ingin memberikan pelajaran kepada
lebih banyak anak didik dengan cara yang lebih cepat.
ü Revolusi
ketiga muncul dengan ditemukannya mesin cetak yang memungkinkan tersebarnya
informasi iconic dan numeric dalam bentuk buku atau media cetak lainnya. Buku
hingga saat ini dianggap sebagai media utama disamping guru untuk keperluan
pendidikan. Revolusi ini masih berlangsung bahkan beberapa pandangan falsafati
berpendapat bahwa masyarakat belajar adalah masyarakat membaca. Beberapa ahli
menyatakan bahwa pendidikan di Indonesia masih berlangsung budaya mendengarkan
belum sampai pada budaya membaca.
Revolusi
ketiga ini terjadi karena guru ingin mengajarkan lebih banyak lagi dan lebih
cepat lagi, sementara itu kemampuan guru semakin terbatas, sehingga diperlukan
penggunaan pengatahuan yang telah diramuka oleh orang lain.
ü Revolusi
keempat berlangsung dengan perkembangan yang pesat di bidang elektronik dimana
yang paling menonjol diantaranya adalah media komunikasi (radio, televisi, tape
dan lain-lain) yang berhasil menembus batas
geografi, sosial dan politis secara lebih intens daripada media cetak.
Pesan – pesan dapat lebih cepat, bervariasi serta berpotensi untuk lebih
berdaya guna bagi si penerima. Pada revolusi ini muncullah konsep keterbacaan
(Literacy) baru, yang tidak sekedar menuntut pemahaman deretan huruf, angka,
kata dan kalimat, tetapi juga pemahaman visual. Beberapa orang ahli berpendapat
bahwa perkembangan media komunikasi ini menjadikan dunia semakin “mengecil”,
menjadi suatu “global Village” dimana semua warganya saling mengenal, saling
tahu dan saling bergantung satu sama lain. Dalam revolusi keempat ini memang
ujud yang sangat menonjol adalah peralatan yang semakin canggih.[4]
Penyebab
revolusi ini adalah karena guru menyadari bahwa tidaklah mungkin bagi guru
untuk memberikan semua ajaran yang diperlukan, dan karena itu yang lebih
penting adalah mengajarkan kepada anak didik tentang bagaimana belajar. Ajaran
selanjutnya akan diperoleh si pembelajar sepanjang usia hidupnya melalui
berbagai sumber dan saluran.
Berdasarkan
penyebab dan kondisi perkembangan keempat revolusi yang terjadi di dunia
pendidikan diatas dimana difokuskan pada masalah utama yaitu “belajar” dapat
disederhanakan yaitu pada awalnya guru menghadapi anak didiknya dengan bertatap
muka langsung dan guru bertindak sebagai satu-satunya sumber untuk belajar.
Perkembangan berikutnya guru menggunakan sumber lain berupa buku yang ditulis
oleh orang lain, atau dapat dikatakan bahwa guru membagi perannya dalam
menyajikan ajaran kepada sejawat lain yang menyajikan pesan melalui buku. Dalam
keadaan ini guru masih mungkin melaksanakan tugasnya menyeleksi buku dan
mengawasi kegiatan belajar secara ketat. Dalam perkembangan selanjutnya media
komunikasi mampu menyalurkan pesan yang dirancang oleh suatu tim yang terpisah
dari guru, langsung kepada anak didik tanpa dapat dikendalikan oleh guru.
Dapat
disimpulkan dari perkembangan revolusi yang terjadi bahwa tujuan pendidikanlah
yang harus menentukan sarana apa saja yang dipergunakan atau dengan kata lain
media komunikasi menentukan pesan (dan karena itu tujuan) yang perlu dikuasai.
Dengan ilustrasi diatas dapat disimpulkan bahwa adanya masalah-masalah baru
yaitu:
ü adanya
berbagai macam sumber untuk belajar termasuk orang (penulis buku, prosedur
media dll), pesan (yang tertulis dalam buku atau tersaji lewat media), media
(buku, program televisi, radio dll), alat (jaringan televisi, radio, dll)
cara-cara tertentu dalam mengolah/ menyajikan pesan serta lingkungan dimana
proses pendidikan itu berlangsung.
ü Perlunya
sumber-sumber tersebut dikembangkan, baik secara konseptual maupun faktual. Perlu
dikelolanya kegiatan pengembangan, maupun sumber-sumber untuk belajar itu agar
dapat digunakan seoptimal mungkin guna keperluan belajar.
3.
Epistemologi
Epistomologi
atau Teori Pengetahuan berhubungan dengan hakikat dari ilmu pengetahuan,
pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas
pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia.
Pandangan
epistemologi tentang pendidikan akan membahas banyak persoalan-persoalan pendidikan,
seperti kurikulum, teori belajar, strategi pembelajaran, bahan atau
sarana-prasarana yang mengantarkan terjadinya proses pendidikan, dan cara
menentukan hasil pendidikan.
M.
Arif berpendapat bahwa epistimologi (bagaimana) yaitu merupakan asas mengenai
cara bagaimana materi pengetahuan diperoleh dan disusun menjadi suatu tubuh
pengetahuan. Ada 3 isi dari landasan epistimologi teknologi pendidikan yaitu :
ü Keseluruhan
masalah belajar dan upaya pemecahannya ditelaah secara simultan. Semua situasi
yang ada diperhatikan dan dikaji saling kaitannya dan bukannya dikaji secara
terpisah-pisah.
ü Unsur-unsur
yang berkepentingan diintegrasikan dalam suatu proses kompleks secara
sistematik yaitu dirancang, dikembangkan, dinilai dan dikelola sebagai suatu
kesatuan, dan ditujukan untuk memecahkan masalah.
ü Penggabungan
ke dalam proses yang kompleks dan perhatian atas gejala secara menyeluruh,
harus mengandung daya lipat atau sinergisme, berbeda dengan hal dimana
masing-masing fungsi berjalan sendiri-sendiri.
Sedangkan
menurut Abdul Gafur (2007) untuk mendapatkan teknoogi pendidikan adalah dengan
cara:
ü Telaah
secara simultan keseluruhan masalah-masalah belajar
ü Pengintegrasian
secara sistemik kegiatan pengembangan, produksi, pemanfaatan, pengelolaan, dan
evaluasi
ü Mengupayakan
sinergisme atau interaksi terhadap seluruh proses pengembangan dan pemanfaatan
sumber belajar
4.
Aksiologi
Aksiologi
(axiology), suatu bidang yang menyelidiki nilai-nilai (value) (candilaras,
2007). Menurut Wijaya Kusumah dalam kajian aksiologi, yaitu apa nilai / manfaat
pengkajian teknologi pendidikan bisa diaplikasikan dalam beberapa hal,
diantaranya
1. Peningkatan
mutu pendidikan (menarik, efektif, efisien, relevan)
2. Penyempurnaan
system Pendidikan
3. Meluas
dan meratnya kesempatan serta akses pendidikan
4. Penyesuaian
dengan kondisi pembelajaran
5. Penyelarasan
dengan perkembangan lingkungan
6. Peningkatan
partisipasi masyarakat
Sedangkan
M. Arif menyatakan bahwa Aksiologi (untuk apa) yaitu merupakan asas dalam
menggunakan pengetahuan yang telah diperoleh dan disusun dalam tubuh
pengetahuan tersebut. Landasan pembenaran atau landasan aksiologis teknologi
pendidikan perlu dipikirkan dan dibahas terus menerus karena adanya kebutuhan
riil yang mendukung pertumbuhan dan perkembangannya. Menurutnya, landasan
aksiologis teknologi pendidikan saat ini adalah:
ü Tekad
mengadakan perluasan dan pemerataan kesempatan belajar.
ü Keharusan
meningkatkan mutu pendidikan berupa, antara lain:
·
Penyempurnaan kurikulum, penyediaan
berbagai sarana pendidikan, dan peningkatan kemampuan tenaga pengajar lewat
berbagai bentuk pendidikan serta latihan.
·
Penyempurnaan sistem pendidikan dengan
penelitian dan pengembangan sesuai dengan tantangan zaman dan kebutuhan
pembangunan.
·
Peningkatan partisipasi masyarakat
dengan pengembangan dan pemanfaatan berbagai wadah dan sumber pendidikan.
Dalam
hal ini Teknologi Pembelajaran secara
aksiologis akan menjadikan pendidikan menjadi:
ü Produktif
ü Ilmiah
ü Individual
ü Serentak
/ actual
ü Merata
ü Berdaya
serap tinggi[5]
Teknologi
Pembelajaran juga menekankan pada nilai bahwa kemudahan yang diberikan oleh
aplikasi teknologi bukanlah tujuan, melainkan alat yang dipilih dan dirancang
strategi penggunaannya agar menumbuhkan sifat bagaimana memanusiakan teknologi
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Teknologi
pendidikan dalam posisi ini sebagai bagian pengembangan untuk memudahkan
hubungan siswa atau peserta didik dengan dunia lingkungannya. Peserta didik,
baik di masyarakat atau di sekolah selalu menghadapi realita dan obyek
pengalaman.
a. Adanya
sejumlah besar orang belum terpenuhi kesempatan belajarnya, baik yang diperoleh
melalui suatu lembaga khusus, maupun yang dapat diperoleh secara mandiri.
b. Adanya
berbagai sumber baik yang telah tersedia maupun yang dapat direkayasa, tapi
belum dimanfaatkann untuk keperluan belajar.
c. Perlu
adanya suatu proses atau usaha khusus yang terarah dan terencana untuk
menggarap sumber-sumber tersebut agar dapat terpenuhi hasrat belajar setiap
orang dan organisasi.
d. Perlu
adanya keahlian dan pengelolaan atas kegiatan khusus dalam mengembangkan dan
memanfaatkan sumber untuk belajar tersebut secara efektif, efisien, dan
selaras.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah, Ishak. 2001.
” Filsafat Ilmu Pendidikan”. PT.Remaja Rosdakarya Bandung.
Nasution, Hasan Bakti.
2001 . “Filsafat Umum”. Gaya Media Pratama.
Miarso, Yusufhadi,
2009. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan.Jakarta : Kencana
Prawiradilaga, Dewi
Salma dan Eveline Siregar. 2008. Mozaik
Teknologi Pendidikan. Jakarta : Kencana
Davil H. Jonassen,
Tekonologi Pembelajaran dengan suatu pendekatan Perspektif (Construktif).
[1]
Prawiradilaga,
Dewi Salma dan Eveline Siregar. 2008. Mozaik
Teknologi Pendidikan. Jakarta : Kencana
[2]
http://fakultasluarkampus.net/2007/07/apa-ontologi-teknologi-pendidikan
[4] Ibid http://lalangiran.wordpress.com/tag/landasan-filsafat-teknologi-pendidikan/ 10:35 3/28/2013
[5]
Davil
H. Jonassen, Tekonologi Pembelajaran dengan suatu pendekatan Perspektif
(Construktif) H.47
Tidak ada komentar:
Posting Komentar