Jumat, 12 April 2013

penelitian Rasulullah SAW terhadap syair



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Telah menjadi kesepakatan dikalangan kaum muslimin bahwasanya hadis Nabi Saw merupakan landasan syari’at setelah Al-Qur’an dimana hadis-hadis Rasulullah Saw merupakan penjelas atau penafsiran atas ayat-ayat Allah yang bersifat mujmal (umum). Hadis-hadis Rasulullah Saw merupakan bentuk perkataan Rasulullah Saw yang menggambarkan tentang akidah, syari’at, muamalah dan akhlak dimana hal tersebut tidak dapat dipisahkan dari al-Qur’an.
Baik al-Qur’an maupun hadis-hadis Rasulullah Saw keduanya diungkapkan dalam bentuk perkataan atau lafadz-lafadz yang tersusun dalam dari gabungan huruf-huruf yang mengandung makna yang luas dan bersifat interpretatatif yang membutuhkan pemahaman baik secara komprehensif maupun parsial.
Para ulama telah banyak mengahabiskan umur mereka dalam melakukan penelitian terhadap hadis-hadis Rasulullah Saw baik dari segi bahasa, makna maupun kandungan syri’at yang terdapat didalamnya, hal ini perlu untuk dilakukan melihat banyak hadis-hadis Rasulullah Saw yang hingga saat ini belum dapat dijangkau makna dan kandungannya, diantara hadis-hadis Rasulullah tersebut adalah hadis-hadis Rasulullah Saw yang berhubungan dengan sya’ir meskipun secara harfiyah ataupun lafdziyah hadis-hadis yang berhubungan dengan hal ini sangat banyak dan bertebaran di pelbagai kitab-kitab hadis baik di dalam kitab-kitab Shahih, Sunan, masanid dan bahkan majami’. Oleh karena itu pada makalah ini penulis berusaha untuk menyingkap beberapa sisi dalam memehamahi hadis-hadis Rasulullah Saw yang berhubungan dengan syair.
Terdapat berbagai macam pendapat yang berkaitan dengan syair dimana hadis-hadis yang menjelaskan tentang kedudukan syair dalam Islam nampaknya bertentangan, pada sisi lain terdapat hadis yang membolehkan dan dilain sisi ditemukan pula hadis yang melarang, kontroversi yang terjadi dalam berbagai hadis menimbulkan pertanyaan tentang kebolehan dan ketidak bolehan menyusun dan melantunkan syair.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Syair yang di perkenankan?
2.      Bagaimana Syair yang di larang?
3.      Apakah Agama itu mudah?








BAB II
PEMBAHASAN
A.    Syair yang diperkenankan
Syair telah menjadi bagian dari tradisi orang-orang arab jahiliyah, sejarah menunjukkan bahwasanya pada zaman Rasulullah Saw telah terbentuk sebuah pasar syair yang dikenal dengan nama Pasar ‘Uqadz tempat para ahli syair dari segala penjuru qabilah melantunkan syir-syair karya mereka, dan bagi syair-syair terbaik diberikan hadiah dan karyanya ditempelkan pada dinding ka’bah.
Dalam Islam terdapat dua bentuk penjelasan tentang kedudukan syair ada teks yang menjelaskan tentang kebolehannya dan adapula yang mencelanya, berikut beberpa teks hadis yang menjelaskan kebolehan syair dan bersyair:
: قَالَ أَبِيهِ عَنْ الشَّرِيدِ بْنِ عَمْرِو عَنْ
شَيْءٌ لْتِ الصَّأَبِي بْنِ أُمَيَّةَ شِعْرِ مِنْ مَعَكَ هَلْ فَقَالَ يَوْمًا وَسَلَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ اللَّهِ صَلَّى رَسُولَ رَدِفْتُ
بَيْتٍ مِائَةَ أَنْشَدْتُهُ حَتَّى هِيهْ فَقَالَ بَيْتًا أَنْشَدْتُهُ هِيهْ فَقَالَ بَيْتًا فَأَنْشَدْتُهُ هِيهْ قَالَ نَعَمْ قُلْتُ عَنْ
Dari Amru bin al-Syarid dari Ayahnya ia berkata : ‘suatu ketika aku bersama Rasulullah Saw kemudian beliau berkata: “Apakah kamu mengetahui beberapa (bait) dari syair karya Umayyah bin ash-Shalt?”, aku menjawab : ‘ya’, beliau berkata: “lantunkanlah!”, kemudian aku melantunkan satu bait, beliau berkata: “lanjutkan” kemudain aku melantunkan satu bait, beliau berkata: “lanjutkan” hingga aku melantunkan 100 bait (syair)

Selain riwayat di atas terdapat pula riwayat lain sebagaimana yang dikeluarkan oleh al-Tirmidzi:
Artinya :
Dari Anas Bahwasanya Rasulullah Saw masuk ke Makkah pada masa umrah dan Abdullah bin Rawah sedang berjalan di depan beliau sambil berkata :
“Berikan jalan kepada anak orang-orang kafir #
Hari ini kami akan memukul kalian dirumah kalian
Dengan pukulan yang menghilangkan kesedihan dari peraduannya #
Dan menjauhkan seorang kekasih dari kekasihnya
Umar kemudian berkata kepadanya : ‘wahai Ibnu Rawah dihadapan Rasulullah Saw dan didalam masjid al-haram kamu melantunkan syair?’ kemudian Nabi Saw berkata kepada Umar : “Biarkan dia wahai Umar sebab hal itu lebih mempercepat dari siraman yang baik”
Dalam riwayat yang lain Rasulullah Saw memuji syair salah seorang sahabat yang bernama Labid bin Rabi’ah Rasulullah Saw bersabda :[1]
Artinya
Dari Abu Hurairah dari Nabi Shallallhu ‘alaihi wa sallam beliau berkata : “Kalimat yang paling benar yang diucapkan oleh penyair adalah kalimat Labid: “Ketahuilah segala sesuatu yang selain Allah adalah bathil (rusakn dan binasa)”. Dan hampir saja Umayyah bin Abu al-Shalt memeluk Islam”.
Dalam Riwayat lain Rasulullah Saw mengemukakan bahwasanya terdapat kandungan hikmah dibalik bait-bait syair sebagaimana sabda Beliau Saw:
حِكْمَةً الشِّعْرِ مِنْ إِنَّ قَالَ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ اللَّهُ صَلَّى النَّبِيَّ أَنَّ كَعْبٍ بْنِ أُبَيِّ عَنْ
Artinya :
Dari Ubai bin Ka’ab Bahwasanya Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya terdapat hikmah diantara (bait-bait) syair”.
B.     Syair yang dilarang
Adapun hadis yang menerangkan akan ketidak bolehan syair dan bersyair adalah :
شِعْرًا يَمْتَلِئَ أَنْ مِنْ لَهُ خَيْرٌ قَيْحًا أَحَدِكُمْ جَوْفُ يَمْتَلِئَ لَأَنْ : قَالَ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ اللَّهُ ى صَلَّالنَّبِيِّ عَنْ عَنْهُمَا اللَّهُ رَضِيَ عُمَرَ ابْنِ عَنْ
Artinya:
Dari Ibnu Umar dari Nabi Saw beliau bersabda: “Lamabung seseorang penuh dengan nanah lebih baik daripada penuh dengan syair”.
Ketika melihat hadis tentang pelarangan bersyair secara zahir, maka akan ditemukan pelarangan untuk bersyair secara mutlak, sebab Rasulullah Saw menyebutkan bahwa “perut seseorang dipenuhi oleh nanah (yang dapat merusaknya) lebih baik dari pada dipenuhi oleh syair”, oleh karena itu terdapat beberapa ulama yang melarang syair secara mutlak berdasarkan hadis tersebut. Imam Ibnu Hajar berkata :
“Para ulama terdahulu berbeda pendapat tentang apabila isi sebuah kitab seluruhnya adalah syair, Al-Sya’bi beprndapat bahwa hal tersebut (kitab dipenuhi oleh syair) tidak boleh, dan al-Zuhry berpendapat bahwa telah menjadi sebuah sunnah terdahulu bahwa basamalah yidak boleh tercampur dengan syair, sementara Said bin Jubair dan Jumhur serta pilihan al-Khatib bahwa buku yang dipenuhi dengan syair dan basmalah tercampur dengan syair adalah boleh”
Sebenarnya hadis tentang pelarangan bersyair memiliki asabab al-wurud sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim dari riwayat Abu Said al-Khudri beliau berkata :
Artinya:
“Ketika kami sedang berjalan bersama Rasulullah Saw di al-’Araj, tiba –tiba seorang penyair membacakan syair kepada kami Rasul pun berkata : “Tahan Syaitan itu, …dst”
Ibnu Baththal berkata: sebahagian ulama berpendapat bahwa syair yang dimaksud dalam hadis adalah syair-syair yang mengandung hujatan terhadap Rasulullah Saw . Akan tetapi Abu ubaid secara pribadi berdasarkan kesepakatan ulama menganggap bahwa penafsiran tentang makna syair adalah penafsiran yang salah sebab kaum muslimin telah sepakat bahwa satu kalimat yang mengandung hujatan kepada Rasulullah Saw maka akan menjadikan kufur. Akan tetapi dikalangan sebahagian ulama melarang syair dan bersyair secara mutlak hal tersebut didasarkan perkataan Rasulullah Saw : “tahan Syaitan itu” dan firamn Allah yang Artinya:[2]
الْغَاوُونَ يَتَّبِعُهُمُ وَالشُّعَرَاءُ
Terjemahannya:
Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. (Q.S. al-Syu’ara’ : 224)
Berdasarkan ayat dan hadis tersebut mereka yang melarang syair secara mutlak menganggap bahwa syair dan bersyair merupkan pekerjaan syaitan yang sesat. Para ahli tafsir seperti al-Thabary beliau berpendapat bahwa para ahli syair tersebut mengikuti jejak orang-orang yang sesat bukan jejak orang-orang yang mendapat petunjuk. Dan yang dimaksud dengan orang yang sesat menurut Ibnu Abbas adalah para pembuat syair dari kalangan orang-orang kafir dan yang lainnya bependapat yang dimaksud dengan orang sesat adalah Syaitan. Ikrimah berkata bahwa suatu jetika terdapat dua ahli syair yang saling mencaci satu sama lain (dengan menggunakan syair), maka Allah menurunkan ayat ini (al-Sya’ara’ : 224). Qatadah berpendapat bahwa para ahli syair memuji seseorang dengan hal-hal yang bathil dan mencela dengan hal-hal yang bathil pula.
Imam al-Qurthuby mengomentari hadis Abu Said al-Khudri dengan mengatakan bahwa para ulama berkata bahwasanya Rasulullah Saw melakukan hal tersebut –yaitu mencela penyair tersebut- karena beliau Saw telah mengetahui keadaan penyair tersebut, karena penyair tersebut dikenal sebagai penyair yang menjadikan syair-syairnya sebagai jalan untuk mendapatkan penghasilan sehingga dia berlebihan dalam memuji ketika diberi, dan berlebihan dalam mencela ketika tidak diberi, sehingga menyiksa manusia baik dari segi harta maupun kehormatan. Oleh karena itu mereka yang melakukan hal ini wajib untuk diingkari. [3]
An-Nawawi berkata : syair itu hukumnya boleh selama tidak terdapat didalamnya hal-hal yang keji dan sejenisnya.
Al-Mubarakfury berkata: yang dimaksud dengan memenuhi (perutnya dengan syair) adalah ketika syair telah menguasainya dimana dia lebih disibukkan dengannya dari al-Qur’an dan ilmu-ilmu Islam lainnya, maka hal tersebut menjadi syair yang tercela apapun bentuknya.
Maka dari itu Imam al-Bukhary dalam shahihnya mmeberikan bab khusus tentang syair dengan nama bab dibencinya syair ketika lebih mendominasi manusia dari al-Qur’an dan dzikir kepada Allah. Jadi apabila seseorang menjadikan al-Qur’an dan Ibadah kepada Allah sebagai kesibukan utama, maka baginya boleh untuk membuat syair dan melantunkankannya selama syair tersebut tidak bertentangan dengan aturan-aturan syari’at.[4]
Berdasarkan pada analisis dari pendapat para ulama di atas dapat dipahami secara kontekstual bahwa hadis Rasulullah Saw yang menyebutkan secara eksplisit larangan syair dan bersyair bersifat temporal karena syair yang terlarang adalah syair yang mengandung pujian yang berlebihan dan dicampuri dengan kebohongan serta syair yang mengandung cacian, celaan dan hinaan terhadap harkat dan martabat manusia baik secara khusus maupun umum.
Akan tetapi Rasulullah Saw sebagai seorang arab memiliki kecenderungan melantunkan syair dan mendengarkan syair sebagaimana hadis-hadis yang menjelaskan akan kebolehan syair dan melantunkan syair tetapi beliau tidak membuat atau menysun syair karena kedudukan beliau sebagai Rasul hal ini ditegaskan oleh dalam firmannya
مُبِينٌ وَقُرْآنٌ ذِكْرٌ إِلا هُوَ إِنْ لَهُ يَنْبَغِي وَمَا الشِّعْرَهُ عَلَّمْنَاوَمَا
Terjemahannya :
“Dan kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu tidaklah layak baginya. Al Quran itu tidak lain hanyalah pelajaran dan Kitab yang memberi penerangan” (Q.S. Yasin : 69).
Ayat di atas menunjukkan bahwa Rasulullah Saw tidak membuat atau menyusun syair dan tidak mengatakan sebait syair pun, jika beliau ingin melantunkan syair beliau tidak menyempurnakan atau senantiasa memotong timbangan syair tersebut, sebagai salah contoh sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzi :
Artinya :
Dari Aisyah beliau berkata: seseorang bertanya kepadanya: ‘Apakah Rasulullah Pernah melantunkan syair, Aisyah menjawab: “Beliau pernah melantunkan Syair Ibnu Rawahah dan beliau melantunkan ‘Dan telah datang kepadamu berita tanpa tanbahan’.
Penjelasan dari Aisyah menunjukkan bahwasanya Rasulullah Saw hanya menyebutkan dan melantunkan potongan syair karya Abdullah bin Rawahah pada masa perang Khandak dengan tujuan agar lebih bersemangat, karena sesungguhnya syair karya Ibnu Rawahah menyebutkan :
Akan tampak kepadamu hari hari dimana kebodohanmu
Dan akan datang kepadamu berita dari yang tidak kamu sangka
Dan banyak lagi riwayat-riwayat lainnya yang menunjukkan bahwa beliau hanya menyebutkan syair karya sahabat-sahabat beliau dengan cara memotongnya bukan dari syair-yair karya beliau karena pelarangan dari Allah. Diantara hikmah larangan Allah terhadap Rasul-Nya untuk menyusun syair dan melantunkannya adalah agar anggapan kaum kafir bahwa Raslullah Saw adalah seorang ahli syair dan al-Qur’an merupakan syair karya Muhammad Saw terbantahkan.[5]
C.    Agama itu mudah
- وسلم عليه اللهصلى - النَّبِىِّ عَنِ هُرَيْرَةَ أَبِى عَنْ
وَقَارِبُوا فَسَدِّدُوا ،غَلَبَهُ إِلاَّ أَحَدٌ الدِّينَ يُشَادَّ وَلَنْ ،يُسْرٌ الدِّينَ إِنَّ قَالَ
الدُّلْجَةِ مِنَ وَشَىْءٍ وَالرَّوْحَةِ بِالْغَدْوَةِ وَاسْتَعِينُوا ،وَأَبْشِرُوا
Artinya :
Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya agama itu mudah. Tidaklah seseorang mempersulit (berlebih-lebihan) dalam agama melainkan ia akan dikalahkan. Oleh karena itu kerjakanlah dengan semestinya, atau mendekati semestinya dan bergembiralah (dengan pahala Allah) dan mohonlah pertolongan di waktu pagi, petang dan sebagian malam"
·         Penjelasan Hadits
يُسْرٌ الدِّينَ إِنَّ
Sesungguhnya agama itu mudah
Inilah karakter agama Islam sebagai agama yang telah diridhai Allah dan diturunkan dalam kesempurnaan kepada umat terakhir.
Ada pendapat yang mengatakan Islam dikatakan mudah karena ia berbeda dengan agama-agama sebelumnya, di mana Allah telah menghilangkan kesulitan-kesulitan yang dibebankan kepada umat terdahulu. Dicontohkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani, dalam hal taubat misalnya. Untuk diterima taubatnya, umat terdahulu ada yang diharuskan bunuh diri. Sedangkan bagi kaum muslimin cukup dengan menyesali dosanya, berjanji tidak mengulangi dan memperbanyak kebaikan.
Pada dasarnya, Islam adalah agama yang mudah karena ia diturunkan oleh Allah SWT yang  Maha Tahu karakter dan kemampuan manusia. Manusia adalah ciptaan Allah dan Dialah yang paling tahu apa yang tepat serta mudah bagi ciptaan-Nya itu. Dia tidak memberikan beban atau kewajiban yang tidak sanggup ditanggung oleh hamba-Nya.[6]
وُسْعَهَا إِلا نَفْسًا اللَّهُ يُكَلِّفُلا
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya
 (QS. Al-Baqarah : 286)
Dalam hal aqidah, aqidah Islam yang pokoknya adalah tauhid merupakan keyakinan yang sejalan dengan fitrah, menenangkan hati dan memuaskan akal. Sehingga sangat mudah bagi manusia yang mau berfikir untuk mengikuti aqidah ini, tanpa kesulitan. Tidak seperti filsafat yang rumit dan juga tidak seperti politheisme yang membingungkan.
Dalam hal ibadah, ibadah Islam adalah ibadah yang mudah. Shalatnya lima waktu dalam sehari semalam merupakan ibadah yang pertengahan. Ia tidak seperti shalat umat terdahulu yang sampai puluhan kali dalam sehari dengan jangka waktu lama. Tidak pula terlalu jarang seperti peribadatan pekanan dalam agama selain Islam. Shalat bisa dilakukan di bumi mana saja, dengan baju yang mana saja asalkan menutupi aurat dan tidak melanggar syariah, dan dengan imam siapa saja dari kaum muslimin.
Puasa juga mudah. Ia hanya terbentang dari fajar hingga matahari terbenam. Satu bulan dalam satu tahun. Tidak seberat puasa kaum terdahulu. Selain mendekatkan kepada Allah, puasa juga menyehatkan pencernaan dan melatih kepekaan sosial.
Zakat dan haji juga demikian. Kedua ibadah yang sangat memerlukan harta ini hanya diwajibkan bagi kaum muslimin yang mampu. Mampu menunaikan zakat karena memiliki harta yang telah mencapai nishab dan haul, mampu menunaikan haji karena memiliki biaya serta aman dan kondusif dalam melaksanakannya.
Taubat bisa dilakukan siapa saja dengan cara yang juga mudah. Ia tidak seperti dipraktikkan agama lainnya yang mengharuskan seseorang yang berdosa untuk mengumumkan aibnya di depan orang lain dan membayar dengan sejumlah uang. Taubat dalam Islam bisa dilakukan oleh masing-masing orang hanya kepada Allah. Taubat dalam Islam berhak didapatkan oleh siapapun tanpa membedakan ia miskin atau kaya, banyak harta atau tidak memilikinya.
Muamalah dalam Islam juga sesuatu yang mudah. Ia sejalan dengan fitrah manusia dan tidak pernah memberatkan. Mulai dari jual beli dan berbagai bentuk interaksi sesama yang bertumpu pada prinsip keadilan, kasih sayang dan saling menguntungkan. Menikah juga mudah dilakukan. Islam tidak memberatkan mahar, namun menyerahkannya kepada kesepakatan antara kedua belah pihak calon suami dan istri sehingga mudah dipenuhi.
Allah SWT berfirman :
حَرَجٍ مِنْ الدِّينِ فِي عَلَيْكُمْ جَعَلَ وَمَا
Terjemahannya :
Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan (QS. Al-Hajj : 78)
Siapa yang menentang Islam, ia akan kalah sendiri. Karena karakter agama Islam itu mudah, maka siapa yang menyulitkan diri sendiri ia akan kalah. Siapa yang berlebih-lebihan dalam agama ini ia akan kalah. Artinya, ia takkan mampu menjalankan agama ini dengan sempurna. Justru akan futur, jatuh dan tenggelam di tengah jalan.
Misalnya dicontohkan dalam sebuah hadits di mana ada tiga orang yang bertanya kepada Aisyah mengenai amal Rasulullah. Lalu mereka menyimpulkan bahwa mereka harus berusaha lebih karena Rasulullah telah diampuni dosanya. Maka orang pertama bertekad untuk qiyamullail sepanjang malam tanpa tidur. Orang kedua bertekad akan berpuasa setiap hari tanpa kecuali. Dan orang ketiga bertekad membujang selamanya, tanpa menikah.

Rasulullah SAW yang kemudian mengetahui perkara ini meluruskan mereka agar mengikuti sunnah Rasulullah. Bahwa qiyamullail dijalankan tetapi ada waktu untuk istirahat. Puasa tidak setiap hari, tetapi maksimalnya adalah puasa Dawud (sehari puasa sehari tidak). Dan seorang muslim hendaklah menikah, tidak membujang.
Apa yang diingatkan Rasulullah SAW itu tidak lain adalah mengikuti karakter agama ini. Bahwa Islam itu mudah. Dan seorang muslim tidak boleh berlebihan, memaksakan diri, atau memperberat yang akhirnya justru ia cepat bosan lalu berhenti, atau terhalang dari kewajiban dan keutamaan lain dari agama ini.[7]
فَسَدِّدُوا
Oleh karena itu kerjakanlah dengan semestinya,
Yaitu amalkanlah Islam itu sebagaimana mestinya, dengan baik dan benar, tanpa berlebihan dan tanpa menguranginya
وَقَارِبُوا
atau mendekati semestinya
Jika tidak mampu, berusahalah mendekati mestinya. Senantiasa berusaha mendekati kesempurnaan sebagaimana yang telah ditunjukkan Allah dan Rasul-Nya dalam Al-Qur'an dan hadits
وَأَبْشِرُوا
dan bergembiralah (dengan pahala Allah)
Bergembiralah, karena dengan mengamalkan Islam sebagaimana adanya itu engkau akan mendapatkan pahala dari Rabbmu. Bergembiralah, sebab dengan menjalankan Islam yang mudah itu engkau akan mendapatkan ganjaran dan kebaikan dari Tuhanmu. Dan amal yang paling dicintai Allah adalah yang terus menerus meskipun ia sedikit. Ketidakmampuan seseorang dalam menjalankan perintah Allah tanpa kesengajaan tidaklah mengurangi pahalanya, dan sederhana dalam sunnah itu lebih baik daripada banyak amalan tetapi bid'ah.
الدُّلْجَةِ مِنَ وَشَىْءٍ وَالرَّوْحَةِ بِالْغَدْوَةِ وَاسْتَعِينُوا
dan mohonlah pertolongan di waktu pagi, petang dan sebagian malam
Al-Ghadwah (الْغَدْوَةِ) artinya permulaan siang. Ar-Rauhah (الرَّوْحَة) artinya setelah terbenamnya matahari. Ad-Duljah (الدُّلْجَةِ) artinya akhir malam.
Maksudnya adalah, mintalah pertolongan kepada Allah SWT dengan beribadah pada waktu-waktu yang telah ditentukan, utamanya adalah permulaan siang (Dzuhur), Maghrib dan waktu-waktu qiyamullail. Mintalah pertolongan kepada Allah dalam segala hal, baik urusan dunia maupun urusan akhirat, khususnya dalam bab ini adalah agar diisitiqamahkan dalam menjalankan Islam yang mudah, yang sesuai sunnah. Tanpa berlebih-lebihan sekaligus tanpa pengurangan.
Ibnu Hajar Al-Asqalani menjelaskan bahwa hadits ini memiliki korelasi yang erat dengan hadits-hadits sebelumnya. Yakni jika hadits sebelumnya menunjukkan bahwa shalat, puasa dan jihad merupakan bagian dari iman dan memiliki keutamaan besar, hadits ini mengingatkan agar dalam menjalankan ketiganya kita tetap berada dalam koridor sunnah, sesuai dengan karakter Islam yang mudah. Tidak mempersulit diri dan berlebih-lebihan.
·         Pelajaran Hadits
Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah:
1.      Islam itu agama yang mudah. Ia diturunkan dengan sempurna sesuai dengan fitrah dan kemampuan manusia;
2.       Seorang muslim harus menjalankan Islam sesuai karakternya yang mudah, tidak mempersulit diri atau berlebih-lebihan;
3.       Orang yang berlebih-lebihan dan mempersulit diri dalam beragama cenderung akan jatuh dalam kekalahan, baik itu bosan, futur atau terjebak pada ghuluw dan bid'ah;
4.      Seorang muslim harus berusaha menjalankan Islam sebagaimana ia diperintahkan, jika tidak mampu hendaklah berusaha mendekatinya;
5.      Seorang muslim harus optimis dengan pahala dan kebaikan yang akan diberikan kepadanya sebagai balasan atas komitmennya terhadap Islam dan sunnah;
6.      Seorang muslim hendaklah senantiasa memohon kepada Allah dengan terus beribadah kepada-Nya;
7.      Seorang muslim hendaklah memanfaatkan waktu-waktu utama dan memperhatikan kesempatannya untuk meraih momentum terbaik dalam beribadah dan beramal.[8]








BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat penulis simpulkan bahawa hadis tentang larangan syair dan bersyair bersifat temporal karena syair yang terlarang adalah syair yang menyalahi aturan-aturan syariat, dan syair yang tercela adalah syair-syair yang disusun untuk merendahkan martabat manusia secara umum dan kaum muslimin secara khusus dan syair yang sangat menyibukkan melebihi kesibukan dalam membaca al-Qur’an dan beribadah kepada Allah. Adapun syair-syair yang disusun dengan tidak mengenyampingkan apalagi meninggalkan ibadah kepada Allah dengan tujuan untuk menyadarkan manusia dari keterpurukan mereka atau membangkitkan semangat kaum muslimin dan melemahkan semangat kaum kafir dan sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah, maka syair tersebut adalah syair yang dibolehkan dan bahkan mendapatkan posisi terpuji dalam Islam sebagaimana yang pernah diberikan kepada para ahli syair dari kalangan sahabat seperti Hassan, Labid, Abdullah bin Rawahah dan selainnya yang dikenal sebagai ahli syair pada masa mereka. Selian itu larangan mutlak untuk menyusun syair dan melantunkannya hanya dikhususkan kepada Rasulullah Saw dan tidak kepada umatnya.
Islam adalah agama yang mudah karena ia diturunkan oleh Allah SWT yang  Maha Tahu karakter dan kemampuan manusia. Manusia adalah ciptaan Allah dan Dialah yang paling tahu apa yang tepat serta mudah bagi ciptaan-Nya itu.


DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Shidiq Hasan, Ensiiklopedia hadis Sahih (PT Mizan Publika)
M. Nashiruddin al- Albani, Ringkasan Shahih Bukhari 1 (Gema Insani. Hak Cipta)
Yusuf Al Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer 3 (Jakarta; Gema Insani. Hak Cipta)


[1] Muhammad Shidiq Hasan, Ensiiklopedia hadis Sahih (PT Mizan Publika) Hal 23.
[2] M. Nashiruddin al- Albani, Ringkasan Shahih Bukhari 1 (Jakarta ; Gema Insani. Hak Cipta) Hal.69
[3] Ibid Hal.90
[4] Yusuf Al Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer 3 (Jakarta; Gema Insani. Hak Cipta) Hal.100
[7] Tim Darul Ilmi, Buku Panduan Lengkap Agama Islam (Penerbit Agromedia Pustaka) Hal.548

Tidak ada komentar:

Posting Komentar