BAB I
PEMBAHASAN
A.
Progresivisme
1.
Pengertian Progresivisme
Progresivisme secara bahasa dapat diartikan sebagai aliran yang
menginginkan kemajuan-kemajuan secara cepat. Dalam konteks filsafat pendidikan,
progresivisme merupakan suatu aliran yang menekankan bahwa pendidikan bukanlah
sekedar upaya pemberian sekumpulan pengetahuan kepada subjek didik, tetapi
hendaklah berisi beragam aktivitas uang mengarah pada pelatihan kemampuan
berpikir mereka secara menyeluruh, sehingga mereka dapat berpikir secara
sistematis melalui cara-cara ilmiah seperti penyediaan ragam data empiris dan
informasi tepritis, memberikan analisis, pertimbangan, dan pembuatan kesimpulan
menuju pemilihan alternative yang paling memungkinkan untuk pemecahan masalah
yang tengah dihadapi. Dengan pemilikan kemampuan berpikir yang baik,
subjek-subjek didik akan terampil membuat keputusan-keputusan terbaik pula
untuk dirinya dan masyarakatnya serta dengan mudah pula dapat menyesuaikan diri
dengan lingkungannya.[1]
Para progresivis berkeyakinan, bahwa manusia secara alamiah
memiliki kemampuan-kemampuan yang wajar dan dapat menghadapi dan mengatasi
berbagai problem kehidupannya menuju suatu perkembangan yang lebih baik, yangh
mengarah pada suatu yang progress. Pendidikan dalam hal dipandang dipandang
sebagai suatu motor bagi penumbuhkembangan kemampuan dasar subjek didik agar
mampu memecahkan kesulitan-kesulitan hidup yang dalam banyak varianya memiliki
hubungan strategi dengan penumnuhan sikap kemandirian subjek didik dalam
pengambilan keputusan berdasarkan cara-cara yang logis dan dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Hanya dengan pemilikan kemampuan-kemampuan
iniulah munculnya berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai bukti bagi
kemajuan suatu masyarakat dan sebagai langkah pula bagi kemajuan-kemajuan
berikutnya. Slogan yang pantas untuk aliran ini adalah bahwa dari kepekaan
subjek didik terhasdap berbagai problem yang ada disekitarnya, akan muncul
keinginan; dari keinginan yang muncul kreatifitas; dari kreatifitas yang akan
muncul prediksi dan dari prediksi akan muncul aksi yang akan membawa pada perubahan
dan kemajuan.
2.
Sejarah Progresivisme
Meskipun Progresivisme
dianggap sebagai aliran pikiran yang baru muncul dengan jelas pada pertengahan
abad ke-19, akan tetapi garis perkembangannya dapat ditarik jauh kebelakang
sampai pada zaman Yunani purba. Misalnya Hiraclitus (544 – 484 SM), Socrates
(469 – 399 SM), Protagoras (480 – 410 SM), dan Aristoteles. Mereka pernah
mengemukakan pendapat yang dapat dianggap sebagai unsur-unsur yang ikut
menyebabkan sikap jiwa yang disebut pragmatisme-Progresivisme. [2]
Heraclitus mengemukakan
bahwa sifat yang utama dari realita ialah perubahan. Tidak ada sesuatu yang
tetap didunia ini, semuanya berubah-ubah, kecuali asa perubahan itu sendiri.
Socrates berusaha mempersatukan epsitemologi dan aksiologi. Ia mengajarkan
bahwa pengetahuan adalah kunci untuk kebajikan. Yang baik dapat dipelajari
dengan kekuatan intelek, dan pengetahuan yang baik menjadi pedoman bagi manusia
untuk melakukan kebajikan. Ia percaya bahwa manusia sanggup melakukan baik.
Protagoras mengajarkan bahwa kebenaran dan norma atau nilai tidak bersifat
mutlak, melainkan relatif, yaitu bergantung pada waktu dan tempat. Sedangkan
Aristoteles menyarankan moderasi dan kompromi (jalan tengah bukan jalan
ekstrim) dalam kehidupan.
Kemudian sejak abad ke-16,
Francis Bacon, John Locke, Rousseau, Kant, dan Hegel dapat disebut sebagai
penyumbang pikiran-pikiran munculnya aliran Progresivisme. Francis Bacon
memberikna sumbangan dengaan usahanya memperbaiki dan memperhalus metode ilmiah
dalam pengetahuan alam. Locke dengan ajarannya tentang kebebasan politik.
Rousseau dengan keyakinannya bahwa kebaikan berada didalam manusia karena
kodrat yang baik dari para manusia. Kant memuliakan manusia, menjunjung tinggi
akan kepribadian manusia, memberi martabat manusia suatu kedudukan yang tinggi.
Hegel mengajarkan bahwa alam dan masyarakat bersifat dinamis, selamanya berada
dalam keadaan bergerak, dalam proses perubahan dan penyesuaian yang tak ada
hentinya.
Dalam abad ke- 19 dan
ke-20, tokoh-tokoh Progresivisme banyak terdapat di Amerika Serikat. Thomas
Paine dan Thomas Jefferson memberikan sumbangan pada Progresivisme karena
kepercayaan mereka pada demokrasi dan penolakan terhadap sikap yang dogmatis,
terutama dalam agama. Charles S. Peirce mengemukakan teori tentang pikiran dan
hal berfikir “pikiran itu hanya berguna bagi manusia apabila pikiran itu
bekerja yaitu memberikan pengalaman (hasil) baginya”. Fungsi berfikir adalah
membiasakan manusia untuk berbuat . perasaan dan gerak jasmaniah adalah
manifestasi dari aktifitas manusia dan keduanya itu tidak dapat dipisahkan dari
kegiatan berfikir.
3. Keyakinan
Aliran Progresivisme Tentang Pendidikan
Dasar filosofis dari
aliran progresivisme adalah Realisme Spiritualistik dan Humanisme Baru.
Realisme spiritualistik berkeyakinan bahwa gerakan pendidikan progresif
bersumber dari prinsip-prinsip spiritualistik dan kreatif dari Froebel dan
Montessori serta ilmu baru tentang perkembangan anak. Sedangkan Humanisme Baru
menekankan pada penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia sebagai individu.
Dengan demikian orientasinya individualistik.
a.
Tujuan
Pendidikan
Tujuan keseluruhan
pendidikan adalah melatih anak agar kelak dapat bekerja, bekerja secara
sistematis, mencintai kerja, dan bekerja dengan otak dan hati. Untuk mencapai
tujuan tersebut, pendidikan harusnya merupakan pengembangan sepenuhnya bakat
dan minat setiap anak. Agar dapat bekerja siswa diharapkan memiliki
keterampilan, alat dan pengalaman sosial, dan memiliki pengalaman problem
solving. [3]
b.
Kurikulum
Pendidikan
Kalangan progresif menempatkan subjek didik pada titik sumbu
sekolah (child-centered). Mereka lalu berupaya mengembangkan kurikulum dan
metode pengajaran yang berpangkal pada kebutuhan, kepentingan, dan inisiatif
subjek didik. Jadi, ketertarikan anak adalah titik tolak bagi pengalaman
belajar. Imam Barnadib menyatakan bahwa kurikulum progresivisme adalah
kurikulum yang tidak beku dan dapat direvisi, sehingga yang cocok adalah
kurikulum yang “berpusat pada pengalaman”. Sains
sosial sering dijadikan pusat pelajaran yang digunakan dalam
pengalaman-pengalaman siswa, dalam pemecahan masalah serta dalam kegiatan
proyek. Disini guru menggunakan ketertarikan alamiah anak untuk membantunya
belajar berbagai keterampilan yang akan mendukung anak menemukan kebutuhan dan
keinginan terbarunya. Akhirnya, ini akan membantu anak (subjek didik)
mengembangkan keterampilan-keterampilan pemecahan masalah dan membangun
‘gudang’ kognitif informasi yang dibutuhkan untuk menjalani kehidupan sosial.[4]
c.
Metode
Pendidikan
Metode pendidikan yang biasanya dipergunakan oleh aliran
progresivisme diantaranya adalah;
1)
Metode Pendidikan Aktif, Pendidikan progresif lebih berupa
penyediaan lingkungan dan fasilitas yang memungkinkan berlangsungnya proses
belajar secara bebas pada setiap anak untuk mengembangkan bakat dan minatnya;
2)
Metode Memonitor Kegiatan Belajar, Mengikuti proses kegiatan
anak belajar sendiri, sambil memberikan bantuan-bantuan apabila diperlukan yang
sifatnya memperlancar berlangsung kegiatan belajar tersebut;
3)
Metode Penelitian Ilmiah, Pendidikan progresif merintis
digunakannya metode penelitian ilmiah yang tertuju pada penyusunan konsep;
4)
Pemerintahan Pelajar,
Pendidikan progresif memperkenalkan pemerintahan pelejar dalam kehidupan
sekolah dalam rangka demokratisasi dalam kehidupan sekolah;
5)
Kerjasama Sekolah Dengan
Keluarga, Pendidikan Progresif mengupayakan adanya kerjasama antara sekolah
dengan keluarga dalam rangka menciptakan kesempatan yang seluas-luasnya bagi
anak untuk mengekspresikan secara alamiah semua minat dan kegiatan yang
diperlukan anak;
6)
Sekolah
Sebagai Laboratorium Pembaharuan Pendidikan, Sekolah tidak hanya tempat untuk
belajar, tetapi berperanan pula sebagai laboratoriun dan pengembangan gagasan
baru pendidikan. [5]
d.
Pelajar
Kaum progresif menganggap
subjek-subjek didik adalah aktif, bukan pasif, sekolah adalah dunia kecil
(miniatur) masyarakat besar, aktifitas ruang kelas difokuskan pada praktik
pemecahan masalah, serta atmosfer sekolah diarahkan pada situasi yang
kooperatif dan demokratis. Mereka menganut prinsip pendidikan perpusat pada
anak (child-centered). Mereka menganggap bahwa anak itu unik. Anak adalah anak
yang sangat berbeda dengan orang dewasa. Anak mempunyai alur pemikiran sendiri,
mempunyai keinginan sendiri, mempunyai harapan-harapan dan kecemasan sendiri
yang berbeda dengan orang dewasa.
e.
Pengajar
Guru dalam melakukan tugasnya mempunyai peranan sebagai;
1)
Fasilitator, orang yang menyediakan diri untuk memberikna jalan
kelancaran proses belajar sendiri siswa;
2)
Motivator, orang yang mampu membangkitkan minat siswa untuk
terus giat belajar sendiri;
3)
Konselor, orang yang membantu siswa menemukan dan mengatasi
sendiri masalah-masalah yang dihadapi oleh setiap siswa. Dengan demikian guru
perlu mempunyai pemahaman yang baik tentang karakteristik siswa, dan teknik-teknik
memimpin perkembangan siswa, serta kecintaan pada anak agar dapat menjalankan
peranannya dengan baik.[6]
B.
Perenialisme
1.
Pengertian Perenialisme
Perenialisme merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad
kedua puluh. Perenialisme berasal dari kata perennial yang berarti abadi, kekal
atau selalu. Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan
progresif. Perenialisme menentang pandangan progresivisme yang menekankan
perubahan dan sesuatu yang baru. Jalan yang ditempuh oleh kaum perenialis
adalah dengan jalan mundur ke belakang, dengan menggunakan kembali nilai-nilai
atau prinsip prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kuat, kukuh
pada zaman kuno dan abad pertengahan. Dalam pendidikan, kaum perenialis
berpandangan bahwa dalam dunia yang tidak menentu dan penuh kekacauan serta
mambahayakan tidak ada satu pun yang lebih bermanfaat daripada kepastian tujuan
pendidikan, serta kestabilan dalam perilaku pendidik.
Mengemukakan pandangan perenialis, bahwa pendidikan harus lebih
banyak mengarahkan pusat perhatiannya pada kebudayaan ideal yang telah teruji
dan tangguh. Perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau
proses mengembalikan keadaan manusia sekarang seperti dalam kebudayaan ideal.[7]
2.
Latar Belakang Filsafat
Teori atau konsep pendidikan perenialisme dilatarbelakangi oleh
filsafat-filsafat Plato sebagai Bapak Idealisme Klasik, filsafat Aristoteles
sebagai Bapak Realisme Klasik, dan filsafat Thomas Aquina yang mencoba
memadukan antara filsafat Aristoteles dengan ajaran Gereja Katolik yang tumbuh
pada zamannya
1.
Plato
Plato (427-347 SM),
hidup pada zaman kebudayaan yang sarat dengan ketidakpastian, yaitu filsafat
sofisme. Ukuran kebenaran dan ukuran moral menurut sofisme adalah manusia
secara pribadi, sehingga pada zaman itu tidak ada kepastian dalam moral dan
kebenaran, tergantung pada masing-masing individu. Plato berpandangan bahwa
realitas yang hakiki itu tetap tidak berubah karena telah ada pada diri manusia
sejak dari asalnya. Menurut Plato, dunia ideal, yang bersumber dari ide mutlak,
yaitu Tuhan. Manusia menemukan kebenaran, pengetahuan, dan nilai moral dengan
menggunakan akal atau ratio.[8]
Tujuan utama pendidikan adalah membina
pemimpin yang sadar akan asas normative dan melaksanakannya dalam semua aspek
kehidupan. Masyarakat yang ideal adalah masyarakat adil sejahtera. Manusia yang
terbaik adalah manusia yang hidup atas dasar prinsip idea mutlak, yaitu suatu prinsip
mutlak yang menjadi sumber realitas semesta dan hakikat kebenaran abadi yang
transcendental yang membimbing manusia untuk menemukan criteria moral, politik,
dan social serta keadilan. Ide mutlak adalah Tuhan
2.
Aristoteles
Aristoteles (384-322 SM) adalah murid Plato,
namun dalam pemikirannya ia mereaksi terhadap filsafat gurunya, yaitu
idealisme. Hasil pemikirannya disebut filsafat realisme. Ia mengajarkan cara
berpikir atas prinsip realistis, yang lebih dekat pada alam kehidupan manusia
sehari-hari.
Menurut Aristoteles, manusia adalah makhluk
materi dan rohani sekaligus. Sebagai materi, ia menyadari bahwa manusia dalam
hidupnya berada dalam kondisi alam materi dan social. Sebagai makhluk rohani,
manusia sadar ia akan menuju pada proses yang lebih tinggi yang menuju kepada
manusia ideal
Perkembangan budi merupakan titik pusat perhatian pendidikan dengan filsafat sebagai alat mencapainya. Ia menganggap penting pula pembentukan kebiasaan pada tingkat pendidikan usia muda dalam menanamkan kesadaran menurut aturan moral. Aristoteles juga menganggap kebahagiaan sebagai tujuan dari pendidikan yang baik. Ia mengembangkan individu secara bulat, totalitas. Aspek-aspek jasmaniah, emosi, dan intelek sama dikembangkan, walaupun ia mengakui bahwa kebahagiaan tertinggi ialah kehidupan berpikir(2:317)[9]
Perkembangan budi merupakan titik pusat perhatian pendidikan dengan filsafat sebagai alat mencapainya. Ia menganggap penting pula pembentukan kebiasaan pada tingkat pendidikan usia muda dalam menanamkan kesadaran menurut aturan moral. Aristoteles juga menganggap kebahagiaan sebagai tujuan dari pendidikan yang baik. Ia mengembangkan individu secara bulat, totalitas. Aspek-aspek jasmaniah, emosi, dan intelek sama dikembangkan, walaupun ia mengakui bahwa kebahagiaan tertinggi ialah kehidupan berpikir(2:317)[9]
3.
Thomas Aquinas
Thomas berpendapat pendidikan adalah menuntun
kemampuan-kemampuan yang masih tidur menjadi aktif atau nyata tergantung pada
kesadaran tiap-tiap individu. Seorang guru bertugad untuk menolong
membangkitkan potensi yang masih tersembunyi dari anak agar menjadi aktif dan
nyata. Menurut J.Maritain, norma fundamental pendidikan adalah :
- Cinta kebenaran
- Cinta kebaikan dan keadilan
- Kesederhanaan dan sifat terbuka terhadap eksistensi
- Cinta kerjasama
Kaum perenialis juga percaya bahwa dunia
alamiah dan hakikat manusia pada dasarnya tetap tidak berubah selam
berabad-abad : jadi, gagasan-gagasan besar terus memiliki potensi yang paling
besar untuk memecahkan permasalahan-permasalahan di setiap zaman. Selain itu,
filsafat perenialis menekankan kemampuan-kemampuan berpikir rasional manusia
sehingga membedakan mereka dengan binatang-binatang lain.[10]
3.
Pandangan Mengenai Belajar
Teori dasar dalam
belajar menurut perenialisme adalah :
1.
Mental disiplin sebagai teori dasar
Penganut perenialisme
sependapat bahwa latihan dan pembinaan berpikir (mental discipline) adalah
salah satu kewajiban tertinggi dari belajar, atau keutamaan dalam proses
belajar (yang tertinggi). Karena itu teori dan program pendidikan pada umumnya
dipusatkan kepada pembinaan kemampuan berpikir.
2.
Rasionalitas dan Asas Kemerdekaan
Asas berpikir dan kemerdekaan harus menjadi
tujuan utama pendidikan ; otoritas berpikir harus disempurnakan sesempurna
mungkin. Dan makna kemerdekaan pendidikan ialah membantu manusia untuk menjadi
dirinya sendiri, be him-self, sebagai essential-self yang membedakannya
daripada makhluk- makhluk lain. Fungsi belajar harus diabdikan bagi tujuan ini,
yaitu aktualitas manusia sebagai makhluk rasional yang dengan itu bersifat
merdeka.
3.
Learning to Reason ( Belajar untuk Berpikir)
Perenialisme tetap percaya dengan asas
pembentukan kebiasaan dalam permulaan pendidikan anak. Kecakapan membaca,
menulis dan berhitung merupakan landasan dasar. Dan berdasarkan pentahapan itu,
maka learning to reason menjadi tujuan pokok pendidikan sekolah menengah dan
pendidikan tinggi.
4.
Belajar sebagai Persiapan Hidup
Bagi Thomisme, belajar untuk berpikir dan
belajar untuk persiapan hidup (dalam masyarakat) adalah dua langkah pada jalan
yang sama, yakni menuju kesempurnaan hidup, kehidupan duniawi menuju kehidupan
syurgawi.
5. Learning through Teaching (belajar melalui Pengajaran)
Adler membedakan antara learning by
instruction dan learning by discovery,
penyelidikan tanpa bantuan guru. Dan sebenarnya learning by instruction adalah
dasar dan menuju learning by discovery, sebagai self education. Menurut
perenialisme, tugas guru bukanlah perantara antara dunia dengan jiwa anak,
melainkan guru juga sebagai murid yang mengalami proses belajar sementara
mengajar.
Guru mengembangkan potensi-potensi self
discovery ; dan ia melakukan moral authority atas murid-muridnya, karena ia
adalah seorang professional yang qualified dan superior dibandingkan muridnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Muhamidayeli, Filsafat
Pendidikan, (Bandung; PT Refika Aditama, 2011)
Mudyahardjo, Redja.
Pengantar Pendidikan; Sebuah Studi Awal Tentang Dasar-dasar Pendidikan pada
Umumnya dan Pendidikan di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006
Sadulloh, Uyoh. Pengantar
Filsafat Pendidikan, Bandung: Alfabeta, 2003
Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1994 Cet. 4
Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1994 Cet. 4
http://nazerodien.blogspot.com/2010/10/aliran-pendidikan-progresivisme.html,diakses tgl 30 sptember 2012 pukul 05:52 AM
http://blog.persimpangan.com/blog/2007/09/27/filafat-perenialisme/, diakses tanggal 29
september 2012 pukul 17:20
[1]
Muhamidayeli, Filsafat Pendidikan, (Bandung;
PT Refika Aditama, 2011), H. 151
[2]
http://nazerodien.blogspot.com/2010/10/aliran-pendidikan-progresivisme.html,diakses tgl 30 sptember 2012 pukul 05:52 AM
[3]
Redja Mudyahardjo. Pengantar Pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006)
H.144
[5]
http://blog.persimpangan.com/blog/2007/09/27/filafat-perenialisme/,
diakses tanggal 29 september 2012 pukul 17:20
[6]
Ibid, H.147
[7]
Muhammad Noor Syam, Filsafat pPendidikan
Islam dan Dasar Filsafat Pancasila, (Surabaya; Usaha Nasional, 1986) H.295
[9]
Ibid, H. 153
[10]
Ibid, H. 154
Tidak ada komentar:
Posting Komentar