BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Secara
bahasa, hadits dapat berarti baru, dekat dan khabar (cerita). Sedangkan dalam
tradisi hukum Islam, hadits berarti segala perkataan, perbuatan dan keizinan
Nabi Muhammad SAW (aqwal, af’al wa taqrir). Akan tetapi para ulama Ushul Fiqh,
membatasi pengertian hadits hanya pada ”ucapan-ucapan Nabi Muhammad SAW yang
berkaitan dengan hukum”, sedangkan bila mencakup, pula perbuatan dan taqrir
yang berkaitan dengan hukum, maka ketiga hal ini mereka namai dengan ”Sunnah”.
Beranjak
dari pengertian-pengertian di atas, menarik dibicarakan tentang kedudukan
Hadits dalam Islam. Seperti yang kita ketahui, bahwa Al-Qur’an merupakan sumber
hukum primer/utama dalam Islam. Akan tetapi dalam realitasnya, ada beberapa hal
atau perkara yang sedikit sekali Al-Qur’an membicarakanya, atau Al-Qur’an
membicarakan secara global saja, atau bahkan tidak dibicarakan sama sekali
dalam Al-Qur’an. Nah jalan keuar untuk memperjelas dan merinci keuniversalan
Al-Qur’an tersebut, maka diperlukan Al-Hadits/As-Sunnah. Di sinilah peran dan
kedudukan Hadits sebagai tabyin atau penjelas dari Al-Qur’an atau bahkan
menjadi sumber hukum sekunder/kedua_setelah Al-Qur’an.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana Dalil-dalil Kehujjahan
Hadits?
2. Bagaimana Fungsi Hadis Terhadap Al-Qur’an?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Dalil-Dalil Kehujjahan Hadis
Sunnah
adalah sumber hukum Islam (pedoman hidup kaum Muslimin) yang kedua setelah al-Qur’an.
Bagi mereka yang telah beriman terhadap al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam,
maka secara otomatis harus percaya bahwa Sunnah juga merupakan sumber hukum
Islam. Bagi mereka yang menolak kebenaran Sunnah sebagai sumber hukum Islam,
bukan saja memperoleh dosa, tetpai juga murtad hukumnya. Ayat-ayat Al-Qur’an
sendiri telah cukup menjadi alasan yang pasti tentang kebenaran Al-Hadits, ini
sebagai sumber hukum Islam. Di dalam al-Quran dijelaskan umat Islam harus
kembali kepada al-Qur’an dan As-Sunnah, diantara ayatnya adalah sebagai berikut:[1]
1. Setiap Mu’min harus taat kepada
Allah dan kepada Rasulullah. (Al-Anfal: 20, Muhammad: 33, an-Nisa: 59, Ali
‘Imran: 32, al- Mujadalah: 13, an-Nur: 54, al-Maidah: 92).
2. Patuh kepada Rasul berarti patuh dan
cinta kepada Allah. (An-Nisa: 80, Ali ‘Imran: 31)
3. Orang yang menyalahi Sunnah akan
mendapatkan siksa. (Al-Anfal: 13, Al-Mujadilah: 5, An-Nisa: 115).
4. Berhukum terhadap Sunnah adalah
tanda orang yang beriman. (An-Nisa: 65).
Alasan
lain mengapa umat Islam berpegang pada hadits karena selain memang di
perintahkan oleh Al-Qur’an, juga untuk memudahkan dalam menentukan (menghukumi)
suatu perkara yang tidak dibicarakan secara rinci atau sama sekali tidak
dibicarakan di dalam Al Qur’an sebagai sumber hukum utama. Apabila Sunnah tidak
berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum Muslimin akan mendapatkan
kesulitan-kesulitan dalam berbagai hal, seperti tata cara shalat, kadar dan
ketentuan zakat, cara haji dan lain sebagainya. Sebab ayat-ayat Al-Qur’an dalam
hal ini tersebut hanya berbicara secara global dan umum, dan yang menjelaskan
secara terperinci justru Sunnah Rasulullah. Selain itu juga akan mendapatkan
kesukaran-kesukaran dalam hal menafsirkan ayat-ayat yang musytarak (multi
makna), muhtamal (mengandung makna alternatif) dan sebagainya yang mau tidak
mau memerlukan Sunnah untuk menjelaskannya. Dan apabila penafsiran-penafsiran
tersebut hanya didasarkan kepada pertimbangan rasio (logika) sudah barang tentu
akan melahirkan tafsiran-tafsiran yang sangat subyektif dan tidak dapat
dipertanggungjawabkan.
Imam-imam
pembina mazhab semuanya mengharuskan kita umat Islam kembali kepada As_sunnah
dalam menghadapi permasalahannya.
Asy-Syafi’i
berkata;
إذا وجدتم في كتابي خلاف سنة رسول الله ص م فقولوا بسنة رسول
الله ص م ودعوا ما قلت
“apabila kamu menemukan dalam kitabku sesuatu yang
berlawanan dengan sunnah Rasulullah Saw. Maka berkatalah menurut Sunnah
Rasulullah Saw, dan tinggalkan apa yang telah aku katakan.”
Perkataan
imam Syafi’I ini memmberikan pengertian bahwa segala pendapat para ulama harus
kita tinggalkan apabila dalam kenyataannya berlawanan dengan hadits Nabi Saw.
Dan apa yang dikat erikan pengertian bahwa segala pendapat para ulama harus
kita tinggalkan apabila dalam akan Asy-Syafi’I ini juga dikatakan oleh para
ulama yang lainnya.[2]
Tetapi
Tidak semua perbuatan Nabi Muhammad merupakan sumber hukum yang harus diikuti
oleh umatnya, seperti perbuatan dan perkataannya pada masa sebelum
kerasulannya.
Untuk
mengetahui sejauh mana kedudukan hadits sebagai sumber hukum Islam, dapat
dilihat dalam beberapa dalil, baik dalam bentuk naqli ataupun aqli;
1.
Dalil
Al-Qur’an[3]
Banyak
ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang kewajiban mempercayai dan menerima
segala yang datng daripada Rasulullah Saw untuk dijadikan pedoman hidup.
Diantaranya adalah;
Firman
Allah Swt dalam surah Ali Imran ayat 179 yang berbunyi;
Artinya:
“Allah sekali-kali tidak akan
membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga
Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mu'min). Dan Allah
sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang ghaib, akan
tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya.
Karena itu berimanlah kepada Allah dan rasul-rasulNya; dan jika kamu beriman
dan bertakwa, maka bagimu pahala yang besar.” (QS:Ali Imran:179)
Dalam
Surat An-Nisa ayat 136 Allah Swt berfirman:
Artinya;
“Wahai orang-orang yang beriman,
tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah
turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya.
Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,
rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat
sejauh-jauhnya.”(QS:An-Nisa:136).[4]
Dalam QS. Ali Imran di atas, Allah memisahkan antara
orang-orang mukmin dengan orang-orang yang munafiq, dan akan memperbaiki
keadaan orang-orang mukmin dan memperkuat iman mereka. Oleh karena itulah,
orang mukmin dituntut agar tetap beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan
pada QS. An-Nisa, Allah menyeru kaum Muslimin agar mereka tetap beriman kepada
Allah, rasul-Nya (Muhammad SAW), al-Qur’an, dan kitab yang diturunkan
sebelumnya. Kemudian pada akhir ayat, Allah mengancam orang-orang yang
mengingkari seruan-Nya.
Selain Allah SWT memerintahkan kepada umat Islam agar
percaya kepada Rasulullah Saw. Allah juga memerintahkan agar mentaati segala
peraturan dan perundang-undangan yang dibawanya. Tuntutan taat kepada Rasul itu
sama halnya dengan tuntutan taat dan patuh kepada perintah Allah Swt. Banyak
ayat al-Qur’an yang mnyerukan seruan ini.
Perhatikan firman Allah SWT. Dalam surat Ali-Imran ayat 32
dibawah ini:
Artinya:
“Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir". (QS:Ali Imran : 32).
Dalam
surat An-Nisa ayat 59 Allah Swt juga berfirman:
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman,
ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya.”(QS:An-Nisa : 59).
Juga
dalam Surat An-Nur ayat 54 yang berbunyi:
Artinya:
“Katakanlah: "Ta'at kepada Allah
dan ta'atlah kepada rasul; dan jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban
rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian
adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu ta'at kepadanya,
niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban rasul itu melainkan
menyampaikan (amanat Allah) dengan terang".
(An-Nur:54)
Masih banyak lagi ayat-ayat yang sejenis menjelaskan tentang
permasalahan ini. Dari beberapa ayat di atas telah jelas bahwa perintah
mentaati Allah selalu dibarengi dengan perintah taat terhadap Rasul-Nya. Begitu
juga sebaliknya dilarang kita durhaka kepada Allah dan juga kepada Rasul-Nya.
Dari sinilah jelas bahwa ungkapan kewajiban taat kepada
Rasulullah Saw dan larangan mendurhakainya, merupakan suatu kesepakatan yang
tidak dipersilihkan umat Islam.[5]
2.
Dalil
Al-Hadits
Dalam salah satu pesan yang disampaikan baginda Rasul
berkenaan dengan kewajiban menjadikan hadits sebagai pedoman hidup disamping
Al-Qur’an sebagai pedoman utamanya, adalah sabdanya:
تركت فيكم أمرين لن تضلوا أبداما إن
تمسكتم بهما كتاب الله وسنة رسوله(رواه الحاكم)
Artinya;
“Aku tinggalkan dua pusaka untukmu
sekalian, dan kalian tidak akan tersesat selam-lamanya, selama kalian berpegang
teguh kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.”
(HR. Malik)[6]
Hadits di atas telah jelas menyebutkan bahwa hadits
merupakan pegangan hidup setelah Al-Qur’an dalam menyelesaikan permasalahan dan
segalah hal yang berkaitan dengan kehidupan khususnya dalam menentukan hukum.
3.
Kesepakatan
Ulama (Ijma’)
Umat Islam telah sepakat menjadikan hadits menjadi sumber
hukum kedua setelah Al-Qur’an. Kesepakatan umat muslimin dalam mempercayai,
menerima, dan mengamalkan segala ketentuan yang terkandung di dalam hadits
telah dilakukan sejak jaman Rasulullah, sepeninggal beliau, masa
khulafaurrosyidin hingga masa-masa selanjutnya dan tidak ada yang
mengingkarinya.
Banyak peristiwa menunjukkan adanya kesepakatan menggunakan
hadits sebagai sumber hukum Islam, antara lain adalah peristiwa dibawah ini;
1. Ketika Abu Bakar dibaiat menjadi
khalifah, ia pernah berkata, “saya tidak meninggalkan sedikitpun sesuatu yang
diamalkan oleh Rasulullah, sesungguhnya saya takut tersesat bila meninggalkan
perintahnya.[7]
2. Saat Umar berada di depan Hajar
Aswad ia berkata, “saya tahu bahwa engkau adalah batu. Seandainya saya tidak
melihat Rasulullah menciummu, saya tidak akan menciummu.”[8]
3. Pernah ditanyakan kepad Abdullah bin
Umar tentang ketentuan sholat safar dalam al-Qur’an. Ibnu Umar menjawab, “Allah
SWT telah mengutus Nabi Muhammad SAW kepada kita dan kita tidak mengetahui
sesuatu, maka sesugguhnya kami berbuat sebagaimana kami melihat Rasulullah
berbuat.”
Masih banyak lagi contoh-contoh yang menunjukkan bahwa yang
diperintahkan, dilakukan, dan diserukan oleh Rasulullah Saw, selalu diikuti
oleh umatnya, dan apa yang dilarang selalu ditinggalkan oleh umatnya.
4.
Sesuai dengan Petunjuk Akal
(Ijtihad)
Kerasulan Muhammad SAW, telah diakui dan dibenarkan oleh
umat Islam. Di dalam mengemban misinya itu kadangkala beliau menyampaikan apa
yang datang dari Allah SWT, baik isi maupun formulasinya dan kadangkala atas
inisiatif sendiri dengan bimbingan wahyu dari Tuhan. Namun juga tidak jarang
beliau menawarkan hasil ijtihad semata-mata mengenai suatu masalah yang tidak
dibimbing oleh wahyu. Hasil ijtihad ini tetap berlaku hingga akhirnya ada nash
yang menasakhnya.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa hadits merupakan
salah satu sumber hukum dan sumber ajaran Islam yang menduduki urutan kedua
setelah Al-Qur’an. Sedangkan bila dilihat dari segi kehujjahannya, hadits
melahirkan hukum dzonni, kecuali hadits mutawatir.
2.
Fungsi Hadis Terhadap Al-Qur’an.
Al-Qur’an dan hadis sebagai pedoman
hidup, sember hukum dan ajaran dalam islam, antara satu dengan yang lainya
tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan satu kesatuan. Al-qur’an sebagai
sumber pertama dan utama banyak memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum dan
global. Oleh karena itu kehadiran hadis, sebagai sumber ajaran kedua tampil
untuk menjelaskan keumuman isi al-Qur’an tersebut. Hal ini sesuai dengan firman
Allah SWT:
Artinya :
Dan Kami turunkan kepadamu Al-Quran, agar kamu menerangkan
pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka
memikirkan.
(QS. An-Nahl : 44)
Allah SWT menurunkan al-Qur’an bagi
umat manusia, agar al-Qur’an ini dapat dipahami oleh manusia, maka Rasul SAW
diperintahkan untuk menjelaskan kandungan dan cara-cara melaksanakan ajarannya kepada
mereka melalui hadis-hadisnya.
Oleh karena itu, fungsi hadis
Rasulullah SAW sebagai penjelas al-Qur’an itu bermacam-macam. Imam Malik bin
Annas menyebutkan lima fungsi, yaitu bayan
al-taqrir, bayan al-tafsir, bayan al-tafshil, bayan al-ba’ts, bayan al-tasyri’.
Imam Stafi’I menyebutkan lima fungsi, yaitu bayan
al-tafshil, bayan al-takhsish, nayan al-ta’yin, bayan al-tasyri’, dan bayan
al-isyarah. Imam Ahmad bin Hanbal menyebutkan empat fungsi yaitu bayan al-ta’kid, bayan al-tafsir, bayan
al-tasyri’, dan bayan al-takhsish.[9]
Agar masalah ini lebih jelas, maka dibawah ini akan diuraikan satu persatu.
1. Bayan At- Taqrir,
Bayan
taqrir bisa juga disebut bayan ta’kid
dan bayan al-isbat jadi yang dimaksud
dengan bayan taqrir yaitu As-Sunnah berfungsi untuk memperkokoh
dan memperkuat pernyataan Al-Qur’an. Seperti hadits yang diriwayatkan oleh
Muslim dari Ibnu Umar, yang berbunyi:
فإذا رأيتموه فصومواوإذارأيتموه فأفطروا (رواه مسلم)
Artinya :
Apabila kamu melihat bulan maka
berpuasalah dan apabila kamu melihat bulan maka berbukalah (H.R Muslim)[10]
Hadits
ini memperkokoh ayat al-Qur’an dibawah ini :
فَلْيَصُمْهُ الشَّهْرَ مِنْكُمُ شَهِدَ فَمَنْ
Artinya :
Maka
barang siapa mempersaksikan di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan
itu (Q.S Al-Baqarah : 185)
2. Bayan At-Tafsir,
Yang disebut dengan bayan al-tafsir adalah bahwa kehadiran
hadis berfungsi untuk memberikan rincian dan tafsiran terhadap ayat-ayat
al-Qur’an yang masih bersifat global (mujmal),memberikan
persyaratan/batasan (taqyid) ayat-ayat
al-Qur’an yang bersifat mutlak, dan mengkhususkan (taksish) terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih bersifat umum.
Diantara contoh tentang ayat-ayat al-Qur’an yang masih mujmal adalah perinyah mengerjakan shalat, puasa, zakat,
disyariatkannya jual beli, nikah, qhisash, hudud dan sebagainya. Ayat-ayat
al-Qur’an tentang masalah ini masih bersifat mujmal, baik mengenai cara mengerjakan, sebab-sebabnya,
syarat-syarat, atau halangan-halangannya. Oleh karena itu, Rasulullah SAW,
melalui hadisnya menafsirkan dan menjelaskan masalah-masalah tersebut. Sebagai
contoh dibawah ini akan dikemukakan hadis yang berfungsi sebagai bayan al-tafsir :
صلو كما رأيتموني أصلي (رواه البخاري ومسلم)
Artinya :
Shalatlah kamu sebagaimana kamu
melihatku shalat
(H.R
Bukhari dan Muslim)[11]
Hadis
ini menjelaskan bagaimana mendirikan shalat. Sebab dalam al-Qur’an tidak
menjelaskan secara rinci. Salah satu ayat yang memerintahkan shalat adalah :
Artinya :
Dan kerjakanlah shalat, tunaikan
zakat, dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku. (Q.S Al-Baqarah : 43)
3. Bayan At-Tasyri’
Dimaksud
dengan bayan at-tasyri’ adalah
mewujudkan sesuatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam al-Qur’an.
Bayan ini jugaa disebut dengan bayan zaid ‘ala Al-Kitab Al-Karim. Hadits
merupakan sebagai ketentuan hukum dalam berbagai persoalan yang tidak ada dalam
Al-Qur’an.
Hadits
bayan at-tasyri’ ini merupakan hadits
yang diamalkan sebagaimana dengan hadits-hadits lainnya. Ibnu Al-Qayyim pernah
berkata bahwa hadits-hadits Rasulullah Saw itu yang berupa tambahan setelah al-Qur’an
merupakan ketentuan hukum yang patut ditaati dan tidak boleh kitaa tolak
sebagai umat Islam.
Suatu
contoh dari hadits dalam kelompok ini adalah tentang hadits zakat fitrah yang
berbunyi:
إن رسول الله صلي الله عليه وسلم فرض زكاة الفطرمن رمضا ن علي
النا س صاعا من تمرأوصاعا من شعيرعلي كل حراوعبد ذكر أو أنثي من المسلمين
(رواه مسلم)
Artinya:
“Rasulullah Saw telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat
Islam pada bulam Ramadhan satu sukat (sha’) kurma atau gandum untuk setiap
orang, baik merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan.”
Hadits
yang termasuk bayan Tasyri’ ini wajib
diamalkan sebagaimana dengan hadits-hadits yang lainnya.
4. Bayan An-Nasakh
Kata
An-Nasakh dari segi bahasa adalah al-itbal (membatalkan), Al-ijalah
(menghilangkan), atau at-tahwil (memindahkan). Menurut ulama mutaqoddimin
mengartikan bayan an-nasakh ini adalah dalil syara’ yang dapat menghapuskan
ketentuan yang telah ada, karena datangnya kemudian. Imam Hanafi membatasi
fungsi bayan ini hanya terhadap hadits-hadits muawatir dan masyhur saja.
Sedangkan terhadap hadits ahad ia menolaknya.
Salah
satu contoh hadits yang biasa diajukan oleh para ulama adalah hadits;
لا وصية لوارث
Artinya;
“Tidak ada wasiat bagi ahli waris”.
Hadits ini menurut mereka me-nasakh
isi Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 180:
Artinya:
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu
kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak,
berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah)
kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”(QS:Al-Baqarah:180)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
semua yang telah diuraikan sebelumnya telah, dapat diambil beberapa kesimpulan
pokok sebagai berikut:
1) Secara bahasa, hadits dapat berarti
baru, dekat dan khabar (cerita). Sedangkan menurut istilah, hadits berarti
segala perkataan, perbuatan dan taqrir atau persetujuan yang disandarkan pada
Nabi Muhammad SAW (aqwal, af’al wa taqrir).
2) Peran dan kedudukan Hadits adalah
sebagai tabyin atau penjelas dari Al-Qur’an dan juga menjadi sumber
hukum sekunder/kedua_setelah Al-Qur’an.
3) Dalam hubungannya dengan Al-Qur’an,
As-Sunnah memiliki beberapa fungsi seperti; Bayan At-Taqrir, Bayan
At-Tafsir, Bayan At-Tasyri’, dan Bayan An-Nasakh.
4) Dalam beberapa kasus, As-Sunnah
dapat saja berdiri sendiri dalam menentukan hukum, hal ini didasarkan pada
keterpeliharaan Nabi dari dosa dan kesalahan, khususnya dalam bidang syariat.
Dan hal ini terbatas pada suatu perkara yang Al-Qur’an tidak menyinggungnya
sama sekali, atau sulit ditemui dalil-dalilnya dalam Al-Qur’an.
Tetapi
Tidak semua perbuatan Nabi Muhammad merupakan sumber hukum yang harus diikuti
oleh umatnya, seperti perbuatan dan perkataannya pada masa sebelum
kerasulannya.
DAFTAR PUSTAKA
Prof.Dr.T.M.Hasbi Ash
Shiddieqy,Pokok-pokok ILMU DIRAYAH HADITS 2,Bulan Bintang Jakarta,1976
Drs.H.Mudasir,ILMU
HADIS,CV.PUSTAKA SETIA,Bandung,1999
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta; PT RajaGrafindo
persada, 2002) cet.3
Abu ‘Abdillah Ahmad bin
Hambal, Musnad Ahmad bin Hanbal, juz
1, (Beirut : Al-Maktab Al-Islamy, t.t),
Hasbi Ash-Shidieqi, Sejarah Dan Pengantar Ilmu Hadits, (Jakarta;
Bulan Bintang, 1980)
Hadis nomor 1.798 ini
terdapat dalam Kitab Al-Shiyam dalam
Imam Muslim, Sahih Muslim, Jilid I,
(Beirut : Dar Al-Fikr,t.t.)
http://hapidzcs.blogspot.com/2011/05/kedudukan-hadits-sebagai-sumber-hukum.html,
diakses pada tgl 29 september 2012 pukul 07:31 PM
[1]
Hasbi Ash Shiddieqy,Pokok-pokok ILMU DIRAYAH
HADITS 2,Bulan Bintang Jakarta,1976.hal.365
[2]
Ibid.hal.355-357.
[3]
H.Mudasir,ILMU HADIS,( Bandung; CV.PUSTAKA
SETIA, 1999), H.66
[4]
Ibid,hal. 67.
[5]
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta;
PT RajaGrafindo persada, 2002) cet.3,,h.53
[6]
Ibid, h.54
[7]
Abu ‘Abdillah Ahmad bin Hambal, Musnad
Ahmad bin Hanbal, juz 1, (Beirut : Al-Maktab Al-Islamy, t.t), h. 164
[8]
Ibid., h. 194 dan 213
[9]
Hasbi Ash-Shidieqi, Sejarah Dan Pengantar
Ilmu Hadits, (Jakarta; Bulan Bintang, 1980), H. 176-188
[10]
Hadis nomor 1.798 ini terdapat dalam Kitab
Al-Shiyam dalam Imam Muslim, Sahih
Muslim, Jilid I, (Beirut : Dar Al-Fikr,t.t.), H.481
[11]
http://hapidzcs.blogspot.com/2011/05/kedudukan-hadits-sebagai-sumber-hukum.html,
diakses pada tgl 29 september 2012 pukul 07:31 PM