Sabtu, 21 September 2013

hadis sebagai sumber ajaran islam



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
Secara bahasa, hadits dapat berarti baru, dekat dan khabar (cerita). Sedangkan dalam tradisi hukum Islam, hadits berarti segala perkataan, perbuatan dan keizinan Nabi Muhammad SAW (aqwal, af’al wa taqrir). Akan tetapi para ulama Ushul Fiqh, membatasi pengertian hadits hanya pada ”ucapan-ucapan Nabi Muhammad SAW yang berkaitan dengan hukum”, sedangkan bila mencakup, pula perbuatan dan taqrir yang berkaitan dengan hukum, maka ketiga hal ini mereka namai dengan ”Sunnah”.
Beranjak dari pengertian-pengertian di atas, menarik dibicarakan tentang kedudukan Hadits dalam Islam. Seperti yang kita ketahui, bahwa Al-Qur’an merupakan sumber hukum primer/utama dalam Islam. Akan tetapi dalam realitasnya, ada beberapa hal atau perkara yang sedikit sekali Al-Qur’an membicarakanya, atau Al-Qur’an membicarakan secara global saja, atau bahkan tidak dibicarakan sama sekali dalam Al-Qur’an. Nah jalan keuar untuk memperjelas dan merinci keuniversalan Al-Qur’an tersebut, maka diperlukan Al-Hadits/As-Sunnah. Di sinilah peran dan kedudukan Hadits sebagai tabyin atau penjelas dari Al-Qur’an atau bahkan menjadi sumber hukum sekunder/kedua_setelah Al-Qur’an.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Dalil-dalil Kehujjahan Hadits?
2.      Bagaimana Fungsi Hadis Terhadap Al-Qur’an?



BAB II
PEMBAHASAN

1.      Dalil-Dalil Kehujjahan Hadis
Sunnah adalah sumber hukum Islam (pedoman hidup kaum Muslimin) yang kedua setelah al-Qur’an. Bagi mereka yang telah beriman terhadap al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam, maka secara otomatis harus percaya bahwa Sunnah juga merupakan sumber hukum Islam. Bagi mereka yang menolak kebenaran Sunnah sebagai sumber hukum Islam, bukan saja memperoleh dosa, tetpai juga murtad hukumnya. Ayat-ayat Al-Qur’an sendiri telah cukup menjadi alasan yang pasti tentang kebenaran Al-Hadits, ini sebagai sumber hukum Islam. Di dalam al-Quran dijelaskan umat Islam harus kembali kepada al-Qur’an dan As-Sunnah, diantara ayatnya adalah sebagai berikut:[1]
1.      Setiap Mu’min harus taat kepada Allah dan kepada Rasulullah. (Al-Anfal: 20, Muhammad: 33, an-Nisa: 59, Ali ‘Imran: 32, al- Mujadalah: 13, an-Nur: 54, al-Maidah: 92).
2.      Patuh kepada Rasul berarti patuh dan cinta kepada Allah. (An-Nisa: 80, Ali ‘Imran: 31)
3.      Orang yang menyalahi Sunnah akan mendapatkan siksa. (Al-Anfal: 13, Al-Mujadilah: 5, An-Nisa: 115).
4.      Berhukum terhadap Sunnah adalah tanda orang yang beriman. (An-Nisa: 65).
Alasan lain mengapa umat Islam berpegang pada hadits karena selain memang di perintahkan oleh Al-Qur’an, juga untuk memudahkan dalam menentukan (menghukumi) suatu perkara yang tidak dibicarakan secara rinci atau sama sekali tidak dibicarakan di dalam Al Qur’an sebagai sumber hukum utama. Apabila Sunnah tidak berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum Muslimin akan mendapatkan kesulitan-kesulitan dalam berbagai hal, seperti tata cara shalat, kadar dan ketentuan zakat, cara haji dan lain sebagainya. Sebab ayat-ayat Al-Qur’an dalam hal ini tersebut hanya berbicara secara global dan umum, dan yang menjelaskan secara terperinci justru Sunnah Rasulullah. Selain itu juga akan mendapatkan kesukaran-kesukaran dalam hal menafsirkan ayat-ayat yang musytarak (multi makna), muhtamal (mengandung makna alternatif) dan sebagainya yang mau tidak mau memerlukan Sunnah untuk menjelaskannya. Dan apabila penafsiran-penafsiran tersebut hanya didasarkan kepada pertimbangan rasio (logika) sudah barang tentu akan melahirkan tafsiran-tafsiran yang sangat subyektif dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Imam-imam pembina mazhab semuanya mengharuskan kita umat Islam kembali kepada As_sunnah dalam menghadapi permasalahannya.
Asy-Syafi’i berkata;
إذا وجدتم في كتابي خلاف سنة رسول الله ص م فقولوا بسنة رسول الله ص م ودعوا ما قلت
“apabila kamu menemukan dalam kitabku sesuatu yang berlawanan dengan sunnah Rasulullah Saw. Maka berkatalah menurut Sunnah Rasulullah Saw, dan tinggalkan apa yang telah aku katakan.”
Perkataan imam Syafi’I ini memmberikan pengertian bahwa segala pendapat para ulama harus kita tinggalkan apabila dalam kenyataannya berlawanan dengan hadits Nabi Saw. Dan apa yang dikat erikan pengertian bahwa segala pendapat para ulama harus kita tinggalkan apabila dalam akan Asy-Syafi’I ini juga dikatakan oleh para ulama yang lainnya.[2]
Tetapi Tidak semua perbuatan Nabi Muhammad merupakan sumber hukum yang harus diikuti oleh umatnya, seperti perbuatan dan perkataannya pada masa sebelum kerasulannya.
Untuk mengetahui  sejauh mana kedudukan hadits sebagai sumber hukum Islam, dapat dilihat dalam beberapa dalil, baik dalam bentuk naqli ataupun aqli;
1.      Dalil Al-Qur’an[3]
Banyak ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang kewajiban mempercayai dan menerima segala yang datng daripada Rasulullah Saw untuk dijadikan pedoman hidup. Diantaranya adalah;
Firman Allah Swt dalam surah Ali Imran ayat 179 yang berbunyi;
Artinya:
“Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mu'min). Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya. Karena itu berimanlah kepada Allah dan rasul-rasulNya; dan jika kamu beriman dan bertakwa, maka bagimu pahala yang besar.” (QS:Ali Imran:179)

Dalam Surat An-Nisa ayat 136 Allah Swt berfirman:


Artinya;
“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.”(QS:An-Nisa:136).[4]

Dalam QS. Ali Imran di atas, Allah memisahkan antara orang-orang mukmin dengan orang-orang yang munafiq, dan akan memperbaiki keadaan orang-orang mukmin dan memperkuat iman mereka. Oleh karena itulah, orang mukmin dituntut agar tetap beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan pada QS. An-Nisa, Allah menyeru kaum Muslimin agar mereka tetap beriman kepada Allah, rasul-Nya (Muhammad SAW), al-Qur’an, dan kitab yang diturunkan sebelumnya. Kemudian pada akhir ayat, Allah mengancam orang-orang yang mengingkari seruan-Nya.
Selain Allah SWT memerintahkan kepada umat Islam agar percaya kepada Rasulullah Saw. Allah juga memerintahkan agar mentaati segala peraturan dan perundang-undangan yang dibawanya. Tuntutan taat kepada Rasul itu sama halnya dengan tuntutan taat dan patuh kepada perintah Allah Swt. Banyak ayat al-Qur’an yang mnyerukan seruan ini.
Perhatikan firman Allah SWT. Dalam surat Ali-Imran ayat 32 dibawah ini:


Artinya:
            “Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir". (QS:Ali Imran : 32).

Dalam surat An-Nisa ayat 59 Allah Swt juga berfirman:

Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”(QS:An-Nisa : 59).

Juga dalam Surat An-Nur ayat 54 yang berbunyi:

Artinya:
“Katakanlah: "Ta'at kepada Allah dan ta'atlah kepada rasul; dan jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu ta'at kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang".
(An-Nur:54)
Masih banyak lagi ayat-ayat yang sejenis menjelaskan tentang permasalahan ini. Dari beberapa ayat di atas telah jelas bahwa perintah mentaati Allah selalu dibarengi dengan perintah taat terhadap Rasul-Nya. Begitu juga sebaliknya dilarang kita durhaka kepada Allah dan juga kepada Rasul-Nya.
Dari sinilah jelas bahwa ungkapan kewajiban taat kepada Rasulullah Saw dan larangan mendurhakainya, merupakan suatu kesepakatan yang tidak dipersilihkan umat Islam.[5]

2.      Dalil Al-Hadits
Dalam salah satu pesan yang disampaikan baginda Rasul berkenaan dengan kewajiban menjadikan hadits sebagai pedoman hidup disamping Al-Qur’an sebagai pedoman utamanya, adalah sabdanya:
تركت فيكم أمرين لن تضلوا أبداما إن تمسكتم بهما كتاب الله وسنة رسوله(رواه الحاكم)
Artinya;
“Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, dan kalian tidak akan tersesat selam-lamanya, selama kalian berpegang teguh kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.”
(HR. Malik)[6]

Hadits di atas telah jelas menyebutkan bahwa hadits merupakan pegangan hidup setelah Al-Qur’an dalam menyelesaikan permasalahan dan segalah hal yang berkaitan dengan kehidupan khususnya dalam menentukan hukum.

3.      Kesepakatan Ulama (Ijma’)
Umat Islam telah sepakat menjadikan hadits menjadi sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an. Kesepakatan umat muslimin dalam mempercayai, menerima, dan mengamalkan segala ketentuan yang terkandung di dalam hadits telah dilakukan sejak jaman Rasulullah, sepeninggal beliau, masa khulafaurrosyidin hingga masa-masa selanjutnya dan tidak ada yang mengingkarinya.
Banyak peristiwa menunjukkan adanya kesepakatan menggunakan hadits sebagai sumber hukum Islam, antara lain adalah peristiwa dibawah ini;
1.      Ketika Abu Bakar dibaiat menjadi khalifah, ia pernah berkata, “saya tidak meninggalkan sedikitpun sesuatu yang diamalkan oleh Rasulullah, sesungguhnya saya takut tersesat bila meninggalkan perintahnya.[7]
2.      Saat Umar berada di depan Hajar Aswad ia berkata, “saya tahu bahwa engkau adalah batu. Seandainya saya tidak melihat Rasulullah menciummu, saya tidak akan menciummu.”[8]
3.      Pernah ditanyakan kepad Abdullah bin Umar tentang ketentuan sholat safar dalam al-Qur’an. Ibnu Umar menjawab, “Allah SWT telah mengutus Nabi Muhammad SAW kepada kita dan kita tidak mengetahui sesuatu, maka sesugguhnya kami berbuat sebagaimana kami melihat Rasulullah berbuat.”

Masih banyak lagi contoh-contoh yang menunjukkan bahwa yang diperintahkan, dilakukan, dan diserukan oleh Rasulullah Saw, selalu diikuti oleh umatnya, dan apa yang dilarang selalu ditinggalkan oleh umatnya.

4.      Sesuai dengan Petunjuk Akal (Ijtihad)
Kerasulan Muhammad SAW, telah diakui dan dibenarkan oleh umat Islam. Di dalam mengemban misinya itu kadangkala beliau menyampaikan apa yang datang dari Allah SWT, baik isi maupun formulasinya dan kadangkala atas inisiatif sendiri dengan bimbingan wahyu dari Tuhan. Namun juga tidak jarang beliau menawarkan hasil ijtihad semata-mata mengenai suatu masalah yang tidak dibimbing oleh wahyu. Hasil ijtihad ini tetap berlaku hingga akhirnya ada nash yang menasakhnya.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa hadits merupakan salah satu sumber hukum dan sumber ajaran Islam yang menduduki urutan kedua setelah Al-Qur’an. Sedangkan bila dilihat dari segi kehujjahannya, hadits melahirkan hukum dzonni, kecuali hadits mutawatir.
2.      Fungsi Hadis Terhadap Al-Qur’an.
Al-Qur’an dan hadis sebagai pedoman hidup, sember hukum dan ajaran dalam islam, antara satu dengan yang lainya tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan satu kesatuan. Al-qur’an sebagai sumber pertama dan utama banyak memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum dan global. Oleh karena itu kehadiran hadis, sebagai sumber ajaran kedua tampil untuk menjelaskan keumuman isi al-Qur’an tersebut. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:
Artinya :
 Dan Kami turunkan kepadamu Al-Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.
(QS. An-Nahl : 44)
Allah SWT menurunkan al-Qur’an bagi umat manusia, agar al-Qur’an ini dapat dipahami oleh manusia, maka Rasul SAW diperintahkan untuk menjelaskan kandungan dan cara-cara melaksanakan ajarannya kepada mereka melalui hadis-hadisnya.
Oleh karena itu, fungsi hadis Rasulullah SAW sebagai penjelas al-Qur’an itu bermacam-macam. Imam Malik bin Annas menyebutkan lima fungsi, yaitu bayan al-taqrir, bayan al-tafsir, bayan al-tafshil, bayan al-ba’ts, bayan al-tasyri’. Imam Stafi’I menyebutkan lima fungsi, yaitu bayan al-tafshil, bayan al-takhsish, nayan al-ta’yin, bayan al-tasyri’, dan bayan al-isyarah. Imam Ahmad bin Hanbal menyebutkan empat fungsi yaitu bayan al-ta’kid, bayan al-tafsir, bayan al-tasyri’, dan bayan al-takhsish.[9] Agar masalah ini lebih jelas, maka dibawah ini akan diuraikan satu persatu.
1.      Bayan At- Taqrir,
Bayan taqrir bisa juga disebut bayan ta’kid dan bayan al-isbat jadi yang dimaksud dengan bayan taqrir  yaitu As-Sunnah berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan Al-Qur’an. Seperti hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Ibnu Umar,  yang berbunyi:
فإذا رأيتموه فصومواوإذارأيتموه فأفطروا (رواه مسلم)
Artinya :
Apabila kamu melihat bulan maka berpuasalah dan apabila kamu melihat bulan maka berbukalah (H.R Muslim)[10]
Hadits ini memperkokoh ayat al-Qur’an dibawah ini :
فَلْيَصُمْهُ الشَّهْرَ مِنْكُمُ شَهِدَ فَمَنْ
Artinya :
Maka barang siapa mempersaksikan di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu (Q.S Al-Baqarah : 185)

2.       Bayan At-Tafsir,
Yang disebut dengan bayan al-tafsir adalah bahwa kehadiran hadis berfungsi untuk memberikan rincian dan tafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih bersifat global (mujmal),memberikan persyaratan/batasan (taqyid) ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat mutlak, dan mengkhususkan (taksish) terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih bersifat umum. Diantara contoh tentang ayat-ayat al-Qur’an yang masih mujmal adalah perinyah mengerjakan shalat, puasa, zakat, disyariatkannya jual beli, nikah, qhisash, hudud dan sebagainya. Ayat-ayat al-Qur’an tentang masalah ini masih bersifat mujmal, baik mengenai cara mengerjakan, sebab-sebabnya, syarat-syarat, atau halangan-halangannya. Oleh karena itu, Rasulullah SAW, melalui hadisnya menafsirkan dan menjelaskan masalah-masalah tersebut. Sebagai contoh dibawah ini akan dikemukakan hadis yang berfungsi sebagai bayan al-tafsir  :
صلو كما رأيتموني أصلي (رواه البخاري ومسلم)
Artinya :
Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat
(H.R Bukhari dan Muslim)[11]
Hadis ini menjelaskan bagaimana mendirikan shalat. Sebab dalam al-Qur’an tidak menjelaskan secara rinci. Salah satu ayat yang memerintahkan shalat adalah :

Artinya :
Dan kerjakanlah shalat, tunaikan zakat, dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku. (Q.S Al-Baqarah : 43)
3.      Bayan At-Tasyri’
Dimaksud dengan bayan at-tasyri’ adalah mewujudkan sesuatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam al-Qur’an. Bayan ini jugaa disebut dengan bayan zaid ‘ala Al-Kitab Al-Karim. Hadits merupakan sebagai ketentuan hukum dalam berbagai persoalan yang tidak ada dalam Al-Qur’an.
Hadits bayan at-tasyri’ ini merupakan hadits yang diamalkan sebagaimana dengan hadits-hadits lainnya. Ibnu Al-Qayyim pernah berkata bahwa hadits-hadits Rasulullah Saw itu yang berupa tambahan setelah al-Qur’an merupakan ketentuan hukum yang patut ditaati dan tidak boleh kitaa tolak sebagai umat Islam.
Suatu contoh dari hadits dalam kelompok ini adalah tentang hadits zakat fitrah yang berbunyi:
إن رسول الله صلي الله عليه وسلم فرض زكاة الفطرمن رمضا ن علي النا س صاعا من تمرأوصاعا من شعيرعلي كل حراوعبد ذكر أو أنثي من المسلمين
(رواه مسلم)
Artinya:
“Rasulullah Saw telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada bulam Ramadhan satu sukat (sha’) kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan.”
Hadits yang termasuk bayan Tasyri’ ini wajib diamalkan sebagaimana dengan hadits-hadits yang lainnya.
4.       Bayan  An-Nasakh
Kata An-Nasakh dari segi bahasa adalah al-itbal (membatalkan), Al-ijalah (menghilangkan), atau at-tahwil (memindahkan). Menurut ulama mutaqoddimin mengartikan bayan an-nasakh ini adalah dalil syara’ yang dapat menghapuskan ketentuan yang telah ada, karena datangnya kemudian. Imam Hanafi membatasi fungsi bayan ini hanya terhadap hadits-hadits muawatir dan masyhur saja. Sedangkan terhadap hadits ahad ia menolaknya.
Salah satu contoh hadits yang biasa diajukan oleh para ulama adalah hadits;
لا وصية لوارث
Artinya;
“Tidak ada wasiat bagi ahli waris”.
Hadits ini menurut mereka me-nasakh isi Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 180:

Artinya:
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”(QS:Al-Baqarah:180)






















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari semua yang telah diuraikan sebelumnya telah, dapat diambil beberapa kesimpulan pokok sebagai berikut:
1)      Secara bahasa, hadits dapat berarti baru, dekat dan khabar (cerita). Sedangkan menurut istilah, hadits berarti segala perkataan, perbuatan dan taqrir atau persetujuan yang disandarkan pada Nabi Muhammad SAW (aqwal, af’al wa taqrir).
2)      Peran dan kedudukan Hadits adalah sebagai tabyin atau penjelas dari Al-Qur’an dan juga menjadi sumber hukum sekunder/kedua_setelah Al-Qur’an.
3)      Dalam hubungannya dengan Al-Qur’an, As-Sunnah memiliki beberapa fungsi seperti; Bayan At-Taqrir, Bayan At-Tafsir, Bayan At-Tasyri’, dan Bayan An-Nasakh.
4)      Dalam beberapa kasus, As-Sunnah dapat saja berdiri sendiri dalam menentukan hukum, hal ini didasarkan pada keterpeliharaan Nabi dari dosa dan kesalahan, khususnya dalam bidang syariat. Dan hal ini terbatas pada suatu perkara yang Al-Qur’an tidak menyinggungnya sama sekali, atau sulit ditemui dalil-dalilnya dalam Al-Qur’an.
Tetapi Tidak semua perbuatan Nabi Muhammad merupakan sumber hukum yang harus diikuti oleh umatnya, seperti perbuatan dan perkataannya pada masa sebelum kerasulannya.






DAFTAR PUSTAKA


Prof.Dr.T.M.Hasbi Ash Shiddieqy,Pokok-pokok ILMU DIRAYAH HADITS 2,Bulan Bintang Jakarta,1976
Drs.H.Mudasir,ILMU HADIS,CV.PUSTAKA SETIA,Bandung,1999
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta; PT RajaGrafindo persada, 2002) cet.3
Abu ‘Abdillah Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad bin Hanbal, juz 1, (Beirut : Al-Maktab Al-Islamy, t.t),
Hasbi Ash-Shidieqi, Sejarah Dan Pengantar Ilmu Hadits, (Jakarta; Bulan Bintang, 1980)
Hadis nomor 1.798 ini terdapat dalam Kitab Al-Shiyam dalam Imam Muslim, Sahih Muslim, Jilid I, (Beirut : Dar Al-Fikr,t.t.)



[1] Hasbi Ash Shiddieqy,Pokok-pokok ILMU DIRAYAH HADITS 2,Bulan Bintang Jakarta,1976.hal.365
[2] Ibid.hal.355-357.
[3] H.Mudasir,ILMU HADIS,( Bandung; CV.PUSTAKA SETIA, 1999),  H.66
[4] Ibid,hal. 67.
[5] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta; PT RajaGrafindo persada, 2002) cet.3,,h.53
[6] Ibid, h.54
[7] Abu ‘Abdillah Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad bin Hanbal, juz 1, (Beirut : Al-Maktab Al-Islamy, t.t), h. 164
[8] Ibid., h. 194 dan 213
[9] Hasbi Ash-Shidieqi, Sejarah Dan Pengantar Ilmu Hadits, (Jakarta; Bulan Bintang, 1980), H. 176-188
[10] Hadis nomor 1.798 ini terdapat dalam Kitab Al-Shiyam dalam Imam Muslim, Sahih Muslim, Jilid I, (Beirut : Dar Al-Fikr,t.t.), H.481